Tiap kali traveling bareng Mas Bayu, hampir tak pernah saya memasukan gua ke dalam itinerary. Apa pasal? Sebab travelmate saya itu (ternyata) memiliki fobia (yang aneh) pada gua; fobia yang baru terdeteksi sejak beberapa tahun silam, saat kami tengah menyuruk masuk ke rongga perut Gua Gelatik.
Waktu itu tiba-tiba saja Mas Bayu mengalami kepanikan dan minta diantar keluar. Padahal kami baru saja tiba di rongga perut gua setelah menyusuri batang tenggorokannya sepanjang puluhan meter dengan merangkak dan merayap.
Seumur-umur, belum pernah saya melihat raut takut yang begitu kentara di wajah Mas Bayu. Apa sebetulnya yang membuat air mukanya berubah?
“Mamas takut gelap ya…?” tanya saya sekaligus menggoda. Mas Bayu hanya diam.
“Takut ada ular?” Masih juga terdiam.
“Apa takut liat hantu?” Lagi-lagi hanya diam, tanda menampik semua praduga saya.
“Jadi Mamas kenapa dong?”
“Di dalam pengap banget, Manis…”
Hanya itu penjelasan yang keluar dari bibirnya. Kelak di kemudian hari, saya pun menemukan jawaban lainnya meski tidak secara eksplisit diucapkan. Rupanya, selain nggak kuat sama pengap, Mas Bayu juga memiliki ketakutan yang aneh pada gua; ada semacam perasaan was-was semisal guanya tiba-tiba runtuh karena gempa! 😯
Begitulah, namanya juga fobia; mana ada, sih, yang masuk logika. Meski sering bikin geretan, pada akhirnya saya, sih, maklum juga. Sejak itu, hampir tak pernah saya jadikan telusur gua sebagai agenda utama, karena bisa dipastikan Mas Bayu nggak akan mau masuk. Meski dia nggak pernah protes atau melarang saya masuk gua, tapi kan nggak asyik kalau traveling bareng terus yang senang cuma saya sendiri.
Seperti kala kali pertama liburan ke Pacitan; saya masuk Gua Gong hingga berjam-jam, sementara Mas Bayu luntang-lantung menunggu di pintu keluar. Ada sepotong rasa bersalah yang singgah saat senyum Mas Bayu merekah, melihat saya (akhirnya) keluar dari mulut gua (setelah ditunggu sekian lama). Jadi kalau guanya nggak keren-keren banget ya mending saya skip aja.
Namun, walau bagaimana pun, saya hanyalah manusia yang (terkadang) rasa penasarannya melebihi rasa pengertian pada pasangan. Kala kali kedua menyambangi Pacitan, saya pun tergoda untuk kembali menghampiri Gua Gong lagi.
Demi menghalau rasa bersalah, sekaligus berupaya menyembuhkan fobianya, saya pun memaksa membujuk Mas Bayu supaya mau ikutan masuk. Saya katakan padanya kalau ruang Gua Gong itu sangat besar, juga dilengkapi dengan banyak blower; jadi nggak akan berasa pengap. “Sejauh ini ya Mamas, Gua Gong itu gua terbaik yang pernah aku liat. Ornamennya, serius, keren banget! Malah ada yang bilang kalau Gua Gong itu gua terindah se-Asia Tenggara!” Dan rayuan saya pun beroleh tuah.
Bersama seorang pemandu, kami mulai mengamati satu per satu ornamen dalam gua. “Gua Gong ditemukan tahun 1924 oleh Mbah Noyo Sumito dan Mbah Joyo Rejo, secara tak sengaja sewaktu mereka sedang mencari sumber mata air. Waktu itu Pacitan sedang dilanda kekeringan dan kemarau panjang,” ujar pemandu kami memulai cerita.
Meski warga kala itu telah mengetahui keberadaan sendang di dalam gua, namun tak seorang pun berani memasukinya karena gua diduga angker. Konon, masyarakat setempat kerap mendengar bunyi-bunyian dari dalam gua; semacam suara gamelan Jawa. Baru berpuluh tahun kemudian, sejak penemuannya, Gua Gong kembali terjamah; dibuka sebagai objek wisata di tahun 2005.
Gua Gong memiliki jalur memutar sepanjang 300 meter yang terbagi dalam tujuh ruang. “Ini ruang pertamanya, Mbak. Namanya Taman Bidadari karena konon di ruangan ini sering terlihat bayangan wanita cantik…” Klik!
Seketika lampu gua tiba-tiba mati, diikuti lenyapnya deru suara blower. Mas Bayu lagi-lagi mengalami kepanikan. Setengah berteriak, dia memaksa saya untuk keluar; meski saya bersikukuh untuk tetap menyusur gua dengan berbekal senter yang saya sewa. Saya paham, meski dalam kepanikannya, Mas Bayu masih mengkhawatirkan keselamatan saya. Mas Bayu bisa saja berlari keluar meninggalkan saya, tak hirau dengan kemungkinan gempa yang ‘tengah menari dalam benaknya’ dan mungkin akan menimpa saya.
Tak sampai semenit selepas tiba di mulut gua dan membayar jasa pemandu, lampu gua tiba-tiba kembali menyala. “Aihh.. Jangan-jangan ini kerjaannya ‘wanita cantik’ di Taman Bidadari”, pikir saya mulai ngaco.
“Mbak mau masuk lagi ndak? Cuma kipasnya ndak bisa nyala, soale generatornya ndak kuat”. Rupanya listrik disini memang sering mati. Itulah sebabnya pengelola melengkapi gua dengan generator.
Mas Bayu jelas mustahil mau saya ajak untuk kembali masuk. Saya pun kembali menelusuri gua dengan hanya ditemani pemandu. Berbeda dengan pemandu pertama yang atraktif, pemandu kedua lebih banyak diam; menontoni saya yang sibuk menekan shutter kamera. Sesekali dia tunjukkan highlight stalaktit dan stalagmit yang dianggap unik, juga empat sendang yang dipercaya bertuah untuk membuang sial, mengobati berbagai penyakit, membuat panjang umur hingga awet muda.
Sepanjang lintasan gua, acap saya rasakan tetesan air menimpa kepala. Itu menandakan sejumlah stalaktit di gua ini masih akan terus bertumbuh. Begitu pula dengan stalagmitnya. Pemandu pun mengingatkan saya agar tidak menyentuh stalaktit dan stalagmit, karena sentuhan tangan akan membuat batuan menghitam, lalu mati.
Anehnya, saat kami tiba di stalaktit yang disebut sebagai Batu Gong, pemandu saya dengan ringannya menabuh batu malang itu hingga mengeluarkan bunyi bak suara gong. Bukannya takjub, saya justru miris memandang nasibnya yang telah menghitam dan tak akan pernah tumbuh lagi. Padahal raut batu ini sangat-sangat indah.
Lebih miris lagi saat mendapati banyak sisi gua yang dieksploitasi secara semena-mena oleh para banci kamera. Dan herannya, para fotografer lokal (yang notabene paham betul kalau batuan gua haram untuk disentuh) justru mengarahkan gaya ‘modelnya’ agar menyentuh ujung stalaktit, bahkan duduk di atas stalagmit! 😡
Di situ kadang saya merasa sedih…
Apakah mereka, para fotografer lokal dan pemandu yang mengais rejeki dari kunjungan wisata itu tak paham kalau wisatawan akan enggan mendatangi gua saat ornamennya tak lagi indah?! Apakah mereka tak paham kalau tindakan konyol yang mereka lakukan itu tak ubahnya bom waktu yang kelak akan merampas lahan penghidupan mereka sendiri?! Ataukah mereka hanya oportunis yang tak peduli apakah keturunannya masih bisa mengagumi cantiknya ornamen gua ini?! Entahlah. Coba tanyakan jawabnya pada ‘wanita cantik’ di Taman Bidadari. Klik!
Gua kembali temaram saat kami tiba di ruang tujuh. Hanya sejenak sebelum kemudian deru suara blower kembali membahana, disusul lampu warna-warni yang kembali menyala. By the way, ternyata saat gelap lindap begini lumayan bikin deg-degan juga. Saya pun jadi penasaran dan bertanya-tanya: “Bu, pernah ada yang kesurupan nggak, sih, disini?”
“Oh, ndak ada, Mbak”
“Kalau ular?”
“Ndak ada juga. Guanya bersih, Mbae. Kalau pengunjung yang pingsan, banyak”.
“O begitu yaa, Bu. Emang lumayan berasa pengap, sih, kalau kipasnya mati”
“Sudah sering main ke Pacitan yaa, Mbak?”
“Umm.. Ini kali kedua, Bu. Yang pertama tahun 2012 akhir, tepat dua hari sebelum Pacitan gempa. Tapi kayaknya Gua Gong baik-baik aja yaa, Bu? Nggak ada stalaktit yang runtuh, kan?”
“Oh, ndak ada, Mbak…”
Sambil beranjak ke mulut gua, beberapa kali saya bersisian jalan dengan pengunjung yang batal berkunjung: keluar gua melalui jalur masuk. Entah kenapa mereka batal telusuri gua.
Mungkin takut akan pengap.
Mungkin takut pada gelap.
Mungkin takut ketemu ular.
Mungkin takut ngeliat hantu.
Atau mungkin juga karena memiliki fobia yang serupa seperti Mas Bayu.
Mungkin saja.
***
Catatan Perjalanan Gembol Ransel ke Gua Gong:
- Gua Gong terletak di Desa Bomo, Kec. Punung, Kab. Pacitan. Bisa ditempuh melalui Jogja dengan rute Wonosari – Pracimantoro – Punung selama 3 jam bila berkendara dengan motor, dan mungkin akan lebih lama bila dengan mobil, karena jalan yang sempit dan berkelok-kelok, meski sebagian besar mulus. Sangat disarankan untuk tidak melanjutkan perjalanan selepas senja, karena minimnya lampu jalan, kiri-kanan terapit hutan, dan (kabarnya) rawan preman.
- Gua Gong buka mulai pukul 9 pagi hingga 5 sore dengan tarif retribusi (Januari 2015) hanya 5 ribu rupiah (sudah termasuk asuransi).
- Ada banyak lapak di sekitar pintu masuk gua yang menjual beragam suvenir, oleh-oleh khas, dan makanan jadi.
- Selain terkenal sebagai kota seribu gua, Pacitan juga memiliki puluhan pantai perawan yang letaknya berdekatan. Pantai terdekat dari Gua Gong diantaranya: Pantai Klayar, Pantai Banyu Tibo, dan Pantai Buyutan.
- Bila berniat menginap, sejumlah homestay di sekitar Pantai Klayar, atau beberapa hotel di sekitar Pantai Teleng Ria bisa menjadi alternatif.
liat foto-foto goa-nya aja keren apalagi klo liat secara langsung
LikeLike
ini gua favorit kalau piknik jaman SD. hihi
LikeLike
dan aku selalu iri sama orang2 yang banyak menghabiskan waktu kecilnya bersama alam 😥
LikeLike
Keren dan keren, apalagi warna-warnanya itu sangat disukai oleh kalangan fotografer untuk mengabadikan momen nih 🙂
LikeLike
emang kece berat yah guanya. nggak heran deh kalau dilabeli sebagai gua terindah se-Asia Tenggara 😀
LikeLike
Foto-fotonya keren Defiii
Dab sebagai org Jatim aku merasa gagal krn belum pernah ke Pacitan T_T
LikeLike
tengkyu Rintaaa..
wuihh.. hati2 lho.. kamu bisa dikutuk jadi stalaktit kalo kesana
LikeLike
Subhanallah cantiknya. Secara saya belum pernah masuk gua, entah bagaimana rasanya melihat keindahan seperti ini dalam perut bumi 🙂
LikeLike
jangan tunda lagi kak., ayo buruan rasain sensasinya 🙂
LikeLike