When was the last time you did something for the first time? Kalau saya dua bulan lalu. Tepatnya long weekend April kemarin, untuk pertama kalinya saya memasuki goa alam yang lumayan seram bernama Gelatik. Ketakutan akan bertemu hantu atau ular berbisa sempat menahan laju langkah saya, membujuk saya untuk berbalik arah saja. Tapi rasa penasaran saya akan goa juga sama besarnya. Dan rasa penasaran itu mesti ditamatkan bukan?! Secara saya sudah jauh-jauh dari Jakarta, juga demi mengobati kekecewaan saya yang tidak jadi memasuki Goa Petruk sewaktu menyambangi Kebumen, maka saya kesampingkan-lah ketakutan saya. 😆
Saya yang hanya berdua dengan Mas Bayu, disatukan dengan tiga cewe asal Jakarta (juga) menjadi satu grup, didampingi dua bapak pemandu. Sebelumnya kami diminta mengganti baju yang kami kenakan dengan ‘seragam’ yang sudah disediakan. Baju ala montir lengkap dengan helm dan sepatu plastik anti licin. Tepat di depan mulut goa, sebelum memasukinya, kami berdoa bersama dipimpin salah satu pemandu yang berdoa supaya sewaktu keluar goa nanti rombongan kami tetap tujuh orang jumlahnya. Tidak kurang, apalagi lebih. hhaha.. Nakut-nakutin aja nih si bapak
Untuk bisa memasuki perut Goa Gelatik ini, kami mesti melalui batang tenggorokannya dengan berjalan merunduk dan merangkak, bahkan ada sesi merayapnya juga sejauh 15 meter. Batang tenggorokan goa adalah berupa tanah padat yang lembab, dengan sejumlah tonjolan yang mencuat disana-sini, dan sebuah lubang yang memutus di antara batang tenggorokannya. Itulah tantangan Goa Gelatik.

Begitu sampai di dalam perutnya, berasa seperti bertamu ke kampung kelelawar. Kata brosur, sih, jumlahnya mencapai puluhan ribu dengan jenis dan ukuran yang berbeda-beda. Bak tuan rumah nan ramah, mereka sih anteng-anteng aja begitu kami tiba. Beberapa hanya hilir mudir, berseliweran seperti sedang menyambut kami dengan tarian selamat datang.

Oleh pak pemandu, kami ditunjukkan satu per satu rupa-rupa stalaktit dan stalagmit juga sebuah batu kristal yang menjadi pesona Goa Gelatik. Tak ada satu pun celah di dinding goa yang memungkinkan masuknya sinar mentari. Satu-satunya sumber cahaya hanya berasal dari senternya pak pemandu. Tiap kali mau memotret mesti disorot senter dulu biar hasilnya kelihatan. Berhubung kadar oksigen dalam goa sangat rendah, kami jadi gak bisa berlama-lama berada disana. Begitu selesai sesi pemotretan, langsung keluar, lanjut bertualang lagi ke goa berikutnya.

Berbeda dengan goa pertama, menyusuri goa kedua ini membutuhkan peralatan ekstra berupa pelampung dan ban karet karena lantai goa adalah sungai sedalam 5 sampai 12 meter. Cave tubing istilah kerennya, yang berarti aktifitas menyusuri sungai di dalam goa dengan ban karet sebagai perahunya. Asyik kann?! Seperti di Goa Gelatik, goa kedua bernama Pindul ini juga menghidangkan pemandangan stalaktit dan stalagmit nan tidak kalah cantik di dalam perutnya, dengan rupa-rupa yang lebih kaya.
Ada stalaktit yang diklaim sebagai stalaktit nomor 4 terbesar di dunia. Ada stalaktit dan stalagmit yang saling mencium sehingga keduanya membentuk pilar besar. Ada stalagmit yang dianggap sebagai simbol kejantanan, sehingga bisa membuat perkasa lelaki yang berhasil memegangnya. Sampai mitos tentang air mutiara, air yang menetes dari salah satu stalaktit, yang kalau diminum wanita bisa bikin tambah cantik dan awet muda. Meskipun cuma mitos, tapi dua yang terakhir ini pasti tetap bikin penasaran pengen nyoba deh. Iyaa kan?!
Goa sepanjang 300 meter ini terbagi dalam tiga zona: terang, remang-remang, dan gelap gulita tanpa cahaya. Ketiganya menawarkan sensasi berbeda di tiap alirannya. Makin gelap, makin seru-seram-menggigit. Sewaktu memasuki zona paling gelap gulita, pak pemandu sengaja mematikan senternya, sehingga kami bak orang buta, gak bisa melihat apa-apa. Mau merem atau melek, sama aja. Kemudian dengan syahdunya kami diajak merenung sejenak, demi mensyukuri nikmat tiada terkira yang kami miliki: indera penglihatan.
Sampai disini, apa ada yang masih bertanya-tanya Dewa Bejo itu siapa? Apa ada yang mengira kalau Bejo itu beneran seorang dewa? Kalau iya, selamat! Anda sudah tertipu mentah-mentah oleh judul tulisan saya. hhehe.. Dewa Bejo tak lain dan tak bukan adalah akronim dari Desa Wisata Bejiharjo. Sebuah desa wisata minat khusus di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Tempat bersemayamnya Goa Gelatik dan Goa Pindul. Sebagai objek wisata minat khusus, desa ini masih terbilang baby karena baru saja dibuka pada awal tahun 2011.
Meskipun terbilang baru, tapi Dewa Bejo sudah sangat mumpuni sebagai desa wisata minat khusus. Hal ini terlihat dari sejumlah fasilitas yang tersedia, mulai dari kelengkapan peralatan bertualang, ketersediaan transportasi antar jemput dari dan ke objek wisata, asuransi, serta pengetahuan yang mumpuni dari para pemandunya. Tak heranlah begitu tiba di lokasi, saya melihat begitu banyak peminat. Baik wisatawan nusantara yang datang dari berbagai penjuru Indonesia sampai turis asing dari berbagai negara.
Dewa Bejo, menurut saya, telah menuai sukses luar biasa sebagai objek wisata minat khusus sehingga layak dijadikan sebagai percontohan desa wisata. Keberadaannya secara langsung telah menyentuh perekonomian warga desa. Mampu memberdayakan secara optimal sumber daya (alam dan manusia) yang tersedia. Di sektor ekonomi, keberadaan Dewa Bejo telah menciptakan usaha kecil menengah bagi warganya, seperti usaha warung makan, penjualan suvenir dan kebutuhan pasca bertualang. Disamping juga memberikan penghasilan tambahan bagi warganya yang berperan sebagai pemandu.
Di sektor lingkungan, dengan dijadikannya desa mereka sebagai desa wisata, warga desa semakin memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang dimiliki. Contohnya dengan berkomitmen untuk tidak membuang sampah di sepanjang aliran Sungai Oyo. Sebagai reward-nya, warga yang tinggal di bantaran sungai akan menerima bagi hasil dari pemasukan pendapatan Dewa Bejo. Semua dampak positif ini berujung pada tumbuh suburnya sense of belonging warga akan sumber daya alam yang dimiliki desanya.
Ada tiga paket wisata yang ditawarkan Dewa Bejo. Selain caving Goa Gelatik dan cave tubing Goa Pindul, ada juga aktivitas menyusuri Sungai Oyo layaknya arum jeram, tapi menggunakan media ban karet. River tubing istilah kerennya. River tubing Sungai Oyo tidak sekedar hanya menaklukkan jeram-jeram sungai, tapi juga memanjakan mata di sepanjang alirannya. Karena Sungai Oyo memiliki penampilan yang tidak biasa. Sepanjang alirannya, sungai ini diapit oleh tebing-tebing bebatuan karst yang sangat indah. Bonusnya, kalau cuaca sedang cerah, Sungai Oyo akan berwarna biru kehijauan. Sayang kami kesana pas kebetulan baru saja turun hujan, sehingga airnya berwarna kecoklatan.
Di tengah pengarungan, kami disapa beberapa air terjun kecil dan satu air terjun utama yang cukup lumayan debit air dan ketinggiannya. Di sekitar air terjun, terdapat tebing setinggi 4 dan 15 meter yang menggoda dan menantang keberanian kami untuk meloncat dari puncaknya. Berhubung gak pandai berenang, saya cuma bisa gigit jari iri memperhatikan orang-orang yang pada girang; terjun ke sungai dari atas tebing.
Selain alamnya yang sungguh memesona, satu hal lain yang membuat saya betah berlama-lama disana dan pengen banget balik lagi adalah keramahan para pemandunya. Mereka sangat tanggap akan kebutuhan kita. Baik itu terkait kebutuhan peralatan bertualang, atau ketika ban karet saya nyangkut di pinggir sungai gak bisa kemana-mana; sampai sandal jepit saya yang ketinggalan di tebing sungai pun mereka tahu. Saya kira saya mesti bertelanjang kaki kembali ke loket. Ternyata ada pemandu yang menemukan dan berbaik hati membawakan sandal jepit saya. Beneran deh, saya jadi takjub dan terharu. 😀
Note :
Artikel ini telah terlebih dulu dimuat di Kompasiana, diikutsertakan dalam kontes Kompasiana-Opera Travel Blog Competition, serta berhasil menyabet gelar pemenang ketiga sehingga mengantarkan penulisnya memperoleh bebe secara cuma-cuma
Terimkasih sudah berkunjung, kami tunggu kunjungan selanjutnya.
LikeLike
Pingback: Narasi Tentang Gua Terindah se-Asia Tenggara | GembolRansel
Pingback: Worrying gets you nowhere! | Salju Gurun