“Mbak…” Setengah berteriak, tergopoh-gopoh, seorang perempuan berpostur mahasiswa menghentikan langkah saya. “Sepatunya tolong dilepas ya Mbak, sembari dibaca aja keterangannya,” ujarnya lagi sambil menunjuk poster tulisan yang tersampir di sisi kiri pintu masuk.
Dingin yang menggigit seketika merambat melalui telapak kaki, ditingkahi aroma melati yang sayup-sayup mulai menyusup. Melalui taburan melati dan AC yang disetel lebih dingin, nuansa mistis seperti dipaksa hadir di ruang ini.
Tiga benda bersejarah milik Pangeran Diponegoro: tombak, tongkat, dan pelana kuda teronggok berjajar menghias ruang pusaka berlabel “Penampakan Leluhur”. Terinspirasi dari kepercayaan Tahiti dan lukisan berjudul “Arwah yang Mengawasi”, ketiga benda pusaka ini sengaja dihadirkan bagi pengunjung pameran yang ingin menjalin hubungan dengan arwah Sang Pangeran.
“Ada banyak hal yang tidak tertangkap oleh mata kita. Bukan karena mereka tidak ada. Melainkan, kemampuan kitalah yang terbatas untuk melihatnya.” (Dee – Supernova Gelombang)


Pameran bertajuk “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga kini” yang dihelat di Galeri Nasional Indonesia sejatinya dimaksudkan untuk menghadirkan kembali ingatan akan sosok Sang Pangeran dari beragam sudut pandang: mulai dari pelukis klasik, seniman kontemporer, hingga khalayak awam. Dari puluhan karya seni yang dipamerkan, adalah “Penangkapan Pangeran Diponegoro”, salah satu karya legendaris sang pelukis: Raden Saleh, yang menjadi primadona dan sorot utama.

Dalam master piecenya, Raden Saleh secara implisit mengungkap dan mengkritik taktik licik kolonialis Belanda dalam upaya penangkapan Sang Pangeran. Alkisah, perundingan dan genjatan senjata yang digagas Jenderal de Kock (musuh Pangeran Diponegoro semasa Perang Jawa) ternyata berujung pada penyergapan dan penangkapan.
Lukisan yang dibuat sang maestro dua tahun setelah Diponegoro meninggal ini sekaligus merupakan upayanya untuk mematahkan kesan yang ditanam Nicolaas Pieneman dalam lukisannya yang berjudul “Penyerahan Diri Diponegoro”; karena sejatinya, Sang Pangeran tidak pernah menyerahkan diri.

Kritik tersembunyi Raden Saleh terhadap kolonial Belanda juga diungkap oleh Guntur Triyadi dalam karya seninya yang turut hadir mewarnai pameran. Dalam pengamatannya, Raden Saleh secara tersamar turut melukiskan Kolonel Jan-Baptist Cleerens sebagai sosok yang mengendap-endap di belakang pangeran. Sejarah mencatat bahwa Cleerens mengkhianati Diponegoro dengan tidak menghadiri negosiasi lantaran telah paham bahwa perundingan yang diagendakan sesungguhnya hanyalah kedok untuk menjebak Sang Pangeran.
Dalam karyanya yang mereproduksi lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”, Guntur mempertegas kehadiran Cleerens dalam lukisan untuk mengungkap kritik tersembunyi yang disampaikan Raden Saleh: bahwa Cleerens adalah sosok yang menikam Sang Pangeran dari belakang.

Meski Raden Saleh banyak menuai pujian untuk mahakaryanya yang dinilai cerdas dan sarat nasionalisme, namun ternyata tidak semua seniman merespon positif lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”.
Pelukis Sudjojono misalnya, mengungkap keterusikan naluri seninya akan karya Raden Saleh dengan melahirkan lukisan berjudul “Pasukan Kita Yang Dipimpin Pangeran Diponegoro”. Lukisan ini menggambarkan pertempuran dan kemenangan pasukan Diponegoro saat melawan tentara Belanda yang dipimpin Mayor Bernard Sollewijn.

Menurut penjelasan yang tersampir di sisi kanan lukisan, Sudjojono pernah berkata bahwa dirinya tidak sependapat bila seorang pelukis pribumi yang berasal dari tanah Indonesia melukiskan pahlawannya pada saat ditangkap Belanda dalam keadaan pasrah, loyo, dan tidak bertenaga. Pernyataan Sudjojono ini sekaligus menyiratkan bahwa kesan yang tertangkap oleh setiap seniman dan pengamat lukisan atas sosok Diponegoro dalam karya Raden Saleh tidaklah seragam; Sang Pangeran tidak secara absolut terlukiskan sebagai sosok yang kuat.
Tak hanya mendulang kritik dan pujian, mahakarya Raden Saleh juga menginspirasi lahirnya karya seni sejumlah seniman, bahkan hingga beberapa generasi setelahnya.
Di tahun 2007, Heri Dono melahirkan “Salah Tangkap Pangeran Diponegoro” sebagai refleksi isu-isu politik Indonesia di tahun 2007. Dengan humor sarkastis politik, Heri Dono melukiskan mantan presiden Suharto, yang tengah dikelilingi sejumlah politisi Indonesia, sebagai “korban” salah tangkap; sementara Sang Pangeran mengamati dan mencemooh peristiwa ini dari atas atap.

Kritik dan humor yang tak kalah menggelitik juga tertuang dalam karya Indieguerillas yang mereproduksi lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” ke dalam bentuk komik. Melalui karyanya, Indieguerillas berupaya untuk meruntuhkan batas antara seni tinggi dan seni rendah; antara karya Raden Saleh yang dianggap sebagai seni tinggi oleh seniman Indonesia, dengan komik sebagai bentuk seni populer.

Tak hanya seni rupa klasik dan kontemporer, beragam wujud benda yang mendefinisikan sosok Diponegoro turut mengisi ruang pameran; semakin meluaskan pengetahuan saya akan sosok Sang Pangeran, tak lagi hanya sebatas mengenal foto yang terpajang di dinding ruang kelas semasa sekolah.
***
P.s: Tulisan ini merupakan narasi hasil menyimak pameran “Aku Diponegoro” yang dihelat di Galeri Nasional Indonesia hingga 8 Maret 2015; ditujukan bagi pembaca Gembol Ransel yang tak sempat menyambangi. Tabik!
Kami berharap dapat menyambut Anda di Galeri Nasional Indonesia untuk menyaksikan pameran luar biasa ini dan mengalami kisah Diponegoro dari beragam sudut pandang. Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa” berlangsung dari 6 Februari hingga 8 Maret dan terbuka untuk umum serta tanpa dipungut biaya.
LikeLike
mantep nih sayang ngga bisa mampir ke eksibisi yang ini.. Pernah lihat lukisan penangkapan diponegoro-nya Raden Saleh sekali dan memang animonya gila-gilaan.. Membuktikan kalau ngga semua orang Indonesia doyannya sinetron aja.. haha..
LikeLike
Ada banyak hal yang tidak tertangkap oleh mata kita. Bukan karena mereka tidak ada. Melainkan, kemampuan kitalah yang terbatas untuk melihatnya itu maksudnya apa ya?jadi kepo 😀 ,contohnya
LikeLike
Kapan lalu diajakin temen tapi aku males hahaha.
Btw aku dah perna ke makam diponegoro
LikeLike
Aduh, kolorku kok pada ilang ya?
Owalah ternyata dibuat lempar2an sama kalian toooh..
Btw, itu pemandunya pak lik Peter itu orang bule???
LikeLike
cara penyajian tombak pusakanya bagus, antara tradisional dan modern. kayak di film avenger suasananya #salamkenal 🙂
LikeLike
Lukisan bagus warnanya hidup. Lukisan ini hanya untuk dipamerkan/dijual juga ? *salam kenal
LikeLike
salam kenal mbak 🙂 setau saya lukisannya hanya untuk dipamerkan, untuk mengenalkan sosok Diponegoro ke khalayak
LikeLike
koq disuruh lepas sepatu masuk ruang pusaka? aku 2x ke sana nyantai2 aja tuh pakai sneakers busuk hihi
LikeLike
aku awalnya juga main nyelonong aja kak, nggak ngeh kalo ada rak sepatu di samping pintu. gak baca dulu juga keterangannya
LikeLike
waktu awal koq nggak ada ya? dan nggak ada yg buka alas kaki 😉
LikeLike
Kak Olive kesananya pas awal2 pembukaan yah? mungkin waktu itu blm bener2 beres persiapannya kak. aku malah datengnya di hari2 terakhir jelang penutupan
mungkin ngelepas alas kaki itu maksudnya untuk menghormati arwah yg diyakini ada di ruang pusaka, kak 🙂
LikeLike
Padahal tempat pamerannya cuma selemparan kolor dr kantorku tp kok ya gak sempet kesana 😦
LikeLike
Rinta., dirimu ngantor dimana sik?
LikeLike
Di medan merdeka timur situuu, salah satu BUMN *sok misterius* x)))
LikeLike
PLN
ternyata kita tetangga. Aku di merdeka barat dong 😀
LikeLike
Salaaahh, coba lagiiiii *dikeplak Defi*
LikeLike
Pertamina *sambil keplak Rinta*
LikeLike
Laahh udah kepencet duluan
Kapan2 maksi bareng bisa dehh 😀
LikeLike
bisa banget dong 😀
Rin, dirimu udah ke museum taman prasasti? cuma sepelemparan kolor juga dari merdeka barat. kesana yukk..
LikeLike
Dulu udah pernah sih tp ayok aja kalo kesana lagi 😀
LikeLike
Asikk.. coba nanti aku tanya Winny juga. Siapa tau dia mau ikut, jd bisa sekalian meet up 😀
LikeLike
ihiiiy asiiikk, atur ajaaa. Oiya yang tgl 10/11 itu kita jalan2 sendiri aja, kalo ikut open trip nanti kurang akrab *halahh* 😀
LikeLike
hhihi.. okelah siap.. nanti kita lanjut berkabar via wa yaa Rinta 😀
LikeLike
jadi nggak pergi juga? 😉
LikeLike