Asia Cambodia Southeast Asia Travel The World

Sehari Keliling Phnom Penh, Ke Mana Saja?

Negara manakah yang menjadi luar negeri pertamamu? Sebagian besar orang Indonesia mungkin akan menjawab Singapura, Malaysia, atau Thailand.

Negara manakah yang menjadi luar negeri pertamamu?

Sebagian besar orang Indonesia mungkin akan menjawab Singapura, Malaysia, atau Thailand. Lalu segelintir lainnya barangkali akan menyebut Australia, Jepang, atau bahkan negara-negara Eropa. Sementara saya; saya memilih Cambodia sebagai negara pertama, yang saya singgahi dalam rangkaian perjalanan bertajuk 18 hari keliling Asia Tenggara kecil-kecilan via jalur darat, beberapa tahun silam. Sebuah perjalanan yang bermula dari Phnom Penh sebagai kota pertama, yang kemudian berlanjut ke Siem Reap, Bangkok, Phuket, Krabi, hingga bermuara di Kuala Lumpur.

Ada dua alasan yang melandasi pemilihan ini. Pertama, saya ingin pengalaman luar negeri pertama saya tidak terlalu mainstream, dan Cambodia (bagi saya) terdengar begitu seksi di telinga. Kedua, saya terpukau oleh perjalanan Bodhi dalam serial Supernova episode Akar, hingga membuat saya begitu penasaran ingin mengunjungi negara yang pernah porak poranda oleh perang saudara ini: saya ingin menyimak sisa-sisa sejarah kelam mereka kala Khmer Merah berkuasa.

Namun kala itu, saya terlalu ambisius dalam menyusun itinerary. Padatnya agenda membuat waktu kunjung di Phnom Penh begitu terbatas, dan saya belum puas. Tiga tahun berselang, dalam rangkaian perjalanan bertajuk 14 hari keliling Asia Tenggara kecil-kecilan, saya kembali menyisipkan Phnom Penh sebagai kota singgah pertama. Dan tulisan ini merupakan rangkuman perjalanan Phnom Penh saya dari dua periode yang berbeda, di rentang masa yang memungkinkan terjadinya banyak perubahan.

***

Kami tiba senja hari di Phnom Penh, yang disambut dengan pemandangan masifnya pertumbuhan gedung di area sekitar bandara dan pembangunan jalan layang yang menciptakan kemacetan panjang; sebuah pemandangan yang berbeda dengan nuansa tiga tahun silam, di mana saat itu tuk-tuk kami terjebak banjir di sore hari yang cerah tanpa tahu dari mana asal muasal sumber alirannya.

1. Wat Phnom

Malam itu, saya dan Mamas berputar-putar keliling kota dengan motor yang kami sewa dari hotel. Awalnya kami ingin nongkrong di Sisowath Quay sambil berburu kuliner lokal, seperti yang kami lakukan di malam pertama di Phnom Penh tiga tahun silam. Namun ramainya lalu lintas, minimnya lampu merah, gelapnya jalanan, dan gagapnya kami yang baru kali pertama mencoba sistem setir kiri membuat perjalanan hanya berputar-putar tak tentu arah. Lupakan soal opsi panduan arah ala Google Maps. Saya tidak mengaktifkan layanan roaming dan tak berniat membeli simcard lokal karena kami hanya akan singgah selama dua malam saja di Cambodia. Alih-alih menyambangi Sisowath Quay, kami malah secara tak sengaja bertemu Wat Phnom.

Wat Phnom merupakan vihara yang dibangun pada tahun 1372 sebagai rumah bagi sejumlah patung Buddha yang ditemukan di antara aliran Sungai Mekong oleh seorang perempuan bernama Penh. Dikisahkan, Penh membangun Wat Phnom di sebuah dataran tertinggi di wilayah ini, yang kemudian dikenal sebagai bukit Penh (dalam bahasa lokal disebut Phnom Penh).

Sayangnya malam itu Wat Phnom sudah tutup. Namun kami diperbolehkan mengelilingi halamannya dengan membayar “tarif masuk” $1 per orang. Malam itu, kami mengitari areal taman yang gelap dan sepi, ditemani seorang lelaki tuna wisma beserta anjingnya yang membuntuti kami dengan ekor matanya; membuat kami tidak nyaman dan tak ingin berlama-lama. Kelak di kemudian hari barulah saya tahu kalau berkeliling area Wat Phnom di malam hari sangat tidak disarankan karena masih terbilang rawan.

2. Masjid Al-Serkal

Kami menginap di #10 Lakeside Guesthouse yang saya pesan via booking.com dengan ekspektasi lokasi guesthouse akan berada dekat dengan danau, persis seperti namanya. Namun alih-alih menemukan danau yang kabarnya telah mengering, kami justru dihadiahi pemandangan sebuah masjid megah bercat putih super cantik yang letaknya hanya beberapa ratus depa saja dari penginapan. Bisa dibayangkan betapa girangnya saya menemukan masjid secantik ini di negara yang muslimnya minoritas.

Namun yang lebih mengejutkan, ternyata masjid ini telah ada sejak tahun 1968, beberapa tahun sebelum rezim Khmer Merah berkuasa, sebagai hadiah keluarga Al-Serkal (dari Uni Emirat Arab) bagi Muslim di Phnom Penh. Di tahun 2012, arsitektur awal masjid ini diruntuhkan untuk kemudian dibangun ulang dengan mengadopsi arsitektur bergaya Ottoman yang membuat saya teringat dengan Blue Mosque di Istanbul. Terletak di area Sangkat Sras Chork, di sekitar masjid ini juga berdiri sejumlah rumah makan halal yang membuat kami jadi memiliki banyak pilihan. Tak seperti tiga tahun silam di mana kami terpaksa makan di resto yang juga menjual menu B2.

3. Tuol Sleng Genoside Museum

Setelah bersepakat soal tarif sewa tuk-tuk malam sebelumnya, pagi itu kami bertemu dengan Map di depan Masjid Al-Serkal. Kepada Map saya sampaikan itinerary kami hari itu yang rencananya bermula dari Royal Palace, lalu berlanjut ke National Museum, Tuol Sleng Genocide Museum, Independence Monument, hingga bermuara di Sisowath Quay. Sebuah urutan yang saya susun dengan memperhatikan jam buka museum dan Royal Palace, tanpa menghiraukan letak geografis yang membuat urutan ini menjadi (sedikit) tidak efesien. Namun menurut Map, sebaiknya kami menyambangi Tuol Sleng saja dulu karena pagi itu sedang ada upacara di Royal Palace dan Independence Monument. Kami menurut saja karena Map menjamin kami akan bisa mengunjungi semuanya hari ini.

Ini merupakan kali kedua saya mengunjungi Tuol Sleng. Tiga tahun silam saya tidak tuntas melihat-lihat isi kelima bangunannya karena waktu itu kami berkejaran waktu dengan jadwal bus ke Siem Reap. Sebetulnya “tak banyak” objek yang bisa dilihat di bangunan bekas sekolah yang dulu pada masa Khmer Merah dialih fungsikan menjadi penjara ini. Sebagian besar areal gedung merupakan ruang kelas yang disekat-sekat dengan kayu dan bata sebagai penjara; lalu sebagian ruang lainnya diisi dengan dipan-dipan besi berkarat yang konon dulu menjadi tempat penyiksaan para tahanan. Pengunjung secara sekelebat bisa melewati area ini dengan “cepat”.

Tiga tahun silam, saya bahkan tak berani melewati lorong-lorong penjara karena takut mengganggu keberadaan “penghuninya” yang mungkin saja masih berdiam di sudut-sudut penjara. Tiga tahun silam, saya justru terhanyut memandangi satu per satu foto para tahanan yang diarsipkan begitu baik oleh Khmer Merah hingga menjadi saksi bisu sejarah.

Melalui foto-foto itu, saya memandang ke wajah mereka, menatap mata mereka; mencoba membayangkan kengerian yang tengah mereka hadapi di depan mata. Tentang harapan hidup yang mungkin hanya tinggal seujung kuku. Walau tanpa ditemani pemandu, saya masih bisa membayangkan betapa kejam dan sadisnya perlakuan Khmer Merah pada saudara sebangsa mereka sendiri. Gambaran sepak terjang kekejaman mereka terangkum jelas pada foto-foto, deretan lukisan, dan segelintir alat penyiksaan yang masih tersisa.

Lantas selama rentang tiga tahun ini, ternyata ada yang berubah. Tiga tahun silam saya masih menemukan baju bekas para tahanan tergeletak begitu saja, menumpuk di sudut anak tangga. Kini Tuol Sleng semakin berbenah, semakin berkurang sisi suramnya. Tumpukan baju itu kini tersimpan rapi dalam lemari kaca, berdampingan dengan tulang tengkorak para korban yang masih tersisa.

Pun begitu, sepulang dari Tuol Sleng saya masih membawa perasaan yang sama seperti yang saya rasakan tiga tahun silam. Suasana hati yang berubah tak nyaman; emosi yang teraduk-aduk antara sedih dan marah. Saya seperti baru saja menyaksikan peristiwa paling kelam dalam sejarah kehidupan manusia.

4. Choeung Ek

Sam memacu tuk-tuknya secara serampangan, melintasi trotoar demi menerobos kemacetan. Lengking suara klakson serta hempasan asap knalpot dan debu jalanan berlomba menyapa kami yang terduduk tegang di kursi belakang. Dengan Bahasa Inggris yang pas-pasan, sesekali Sam melontarkan lelucon, berharap kami mahfum dengan gaya berkendaranya.

Sam banyak bercerita. Kepada kami dia berbicara tentang apa saja; berusaha memberi penjelasan singkat tentang monumen, kuil, atau bangunan unik yang kami lewati sepanjang jalan, hingga bercerita tentang sepak terjang pemerintah dan sulitnya mencari kerja. Tanpa terasa tuk-tuk kami telah keluar dari ruwet kemacetan, melaju kencang di jalan beraspal mulus di pinggir kota.

Terletak sejauh 15 km dari pusat kota, Choeung Ek sejatinya merupakan persinggahan terakhir para tahanan S21 (sebutan bagi Tuol Sleng di masa silam) sebelum mereka menemui ajal. Sebuah ladang pembantaian tempat bersemayamnya ratusan kuburan massal. Di sinilah para tahanan dieksekusi secara brutal. Bukan dengan peluru karena sebutir peluru terlalu berharga untuk menghabisi sebuah nyawa. Mereka dieksekusi dengan benda tajam seperti kapak, pisau, sekop, dan bahkan cangkul.

Bukan hanya orang dewasa, anak-anak di bawah usia pun tak luput dari daftar eksekusi. Tujuannya agar kelak tak ada generasi yang menuntut balas atas kematian orangtua mereka. Cerita tentang proses eksekusi anak-anak ini pun tak kalah mengerikannya. Alkisah, sang algojo mencengkeram kaki-kaki kecil mereka, sementara tubuh dan kepala dihantamkan kuat-kuat pada sebatang pokok pohon yang kelak di kemudian hari dikenal dengan sebutan killing tree.

Hingga kini killing tree masih tumbuh menjulang di area Choeung Ek. Ranting dan daunnya menjuntai, menaungi sepetak kuburan massal. Pokoknya dikelilingi gelang warna-warni, sebagai simbol penghormatan bagi para korban. Dari ratusan kuburan massal yang ditemukan di Choeung Ek, sebagian besar sudah digali. Sementara sebagian lainnya dibiarkan seperti adanya. Keberadaannya ditandai dengan pagar bambu yang juga dipenuhi gelang warna-warni. Ribuan tengkorak yang ditemukan selama proses ekskavasi kini tersimpan dalam stupa kaca setinggi 17 tingkat yang dibangun di atas tanah Choeung Ek, sebagai monumen penanda periode kelam genosida di Cambodia.

5. Independence Monument

Dengan langkah bergegas, kami menyeberangi jalan raya menuju sepetak taman yang membentang di persinggungan antara Norodom Boulevard dan Sihanouk Boulevard, sementara Map memarkir tuk-tuknya di tepi jalan. Siang itu, tak nampak aktivitas mencolok di area taman yang membingkai keberadaan sebuah stupa berbentuk teratai yang menjadi landmark kota sekaligus tugu peringatan kemerdekaan Cambodia dari jajahan Prancis. Yang tampak hanyalah air mancur yang tak berhenti meluncur, karangan bunga di sisi anak tangga, dan sepasang tentara yang berjaga di pintu tugu. Upacara yang dimaksud Map sepertinya sudah usai sedari beberapa jam lalu.

Kami tidak berlama-lama mengelilingi taman karena monumen tidak dibuka untuk umum dan satu-satunya aktivitas yang ingin kami lakukan hanyalah berfoto di halamannya. Selagi asyik memotret dan dipotret, dari kejauhan saya mendapati Map ikut-ikutan memotret kami, membuat saya bertanya-tanya apakah kelakuan kami -sepasang turis asing dari negara tetangga- yang berfoto di monumen kemerdekaan bangsanya terlihat begitu norak di matanya?!

6. National Museum of Cambodia

Map mengantar kami ke National Museum menjelang tengah hari. Kepada saya ia lantas berpamitan pulang untuk makan siang dan menukar tuk-tuknya dan berjanji akan menjemput kami dua jam lagi. Saya tentu tidak keberatan karena menunggu seharian pastilah sangat membosankan.

Sebelum menyambangi museum ini, saya tidak punya gambaran perihal koleksi yang tersimpan di dalamnya. Yang membuat saya memutuskan untuk memasukkan National Museum ke dalam itinerary adalah lantaran saya tertarik dengan arsitektur bangunannya yang didominasi warna merah dengan atapnya yang berbuku-buku dan meruncing lentik. Dugaan saya, museum ini akan berisi kepingan sejarah perjuangan rakyat Cambodia yang pernah dijajah Prancis dan Amerika. Namun tebakan saya salah. National Museum ternyata menyimpan koleksi patung-patung yang konon sebagian besar berasal dari periode Angkor.

Tentu saja saya tidak menghabiskan waktu terlalu lama di dalam karena sudah cukup puas melihat koleksi yang lebih melimpah di kompleks Angkor, tiga tahun silam. Hanya dalam waktu satu setengah jam, kami telah khatam melihat-lihat isi keempat galerinya. Lalu kemudian menyesal telah membiarkan Map pulang, sebab kini kami yang menunggu ia datang hingga bosan.

7. Royal Palace

Map menurunkan kami di ujung jalan kawasan Royal Palace seraya berjanji akan menunggu kami di pintu keluar. Siang itu, halaman Royal Palace mulai diramaikan penjual kuliner yang cukup ampuh mengalihkan perhatian kami sembari menunggu Royal Palace kembali dibuka sejak upacara kenegaraan pagi tadi.

Royal Palace sejatinya merupakan istana kediaman keluarga Raja Cambodia. Di dalamnya bersemayam sederet bangunan bernuansa Khmer dan juga Silver Pagoda yang dianggap sebagai pelindung negara. Sayangnya beberapa area dan bangunan tertutup bagi pengunjung. Pun kalau ada yang boleh dimasuki, pengunjung dilarang memotret isi maupun berfoto di dalamnya. Jadilah kami hanya berkeliling kawasan istana yang memang cukup luas, mencermati satu per satu arsitektur bangunan yang ada hingga tanpa terasa kami telah tergiring menuju pintu keluar.

8. Sisowath Quay

Setelah lebih dari setengah jam menunggu dan berkeliling mencari Map di pintu keluar dan tak juga kunjung terlihat batang tuk-tuknya, akhirnya kami putuskan untuk berjalan kaki saja, mencari Warung Bali yang berada tak jauh dari Royal Palace lalu menghabiskan sisa hari di Sisowath Quay.

Malam itu kawasan Sisowath Quay menjadi berkali lipat ramainya. Lalu lintas pun tersendat oleh lalu lalang orang dan pedagang. Dari cerita Firdaus sang pemilik Warung Bali barulah kami tahu kalau hari itu, tanggal 9 November, ternyata merupakan hari peringatan kemerdekaan Cambodia. Pantas saja pagi tadi berlangsung upacara di Independence Monument dan Royal Palace. Dan kawasan Sisowath Quay menjadi lokasi pusat perayaannya; membuat kami betah berlama-lama duduk di tepian Sungai Tonle Sap, memandangi kembang api aneka rupa yang tak henti meluncur.

***

Sesampainya di penginapan, Map sudah menunggu kami di halaman, seperti yang sudah saya perkirakan. Ia meminta maaf karena tidak bisa menjemput dengan alasan akses jalan telah ditutup. Padahal di pintu keluar Royal Palace tadi ada begitu banyak tuk-tuk yang parkir menunggu penumpang. Saya pun lantas menduga Map mungkin saja malas terjebak macet. Lalu kemudian saya mengerti kenapa ia memotret kami saat di Independence Monument tadi: tentu saja supaya ia lebih mudah mencari kami di penginapan untuk menagih sisa pembayaran.

Note : Kami menyambangi Choeung Ek pada kunjungan kali pertama ke Phnom Penh dan tak menyambanginya lagi pada kali kedua. Namun jika mau, kamu bisa menyambangi 8 destinasi di atas dalam satu hari.

4 comments on “Sehari Keliling Phnom Penh, Ke Mana Saja?

  1. Wah, berkali-kali ke Phnom Penh, saya belum punya foto Wat Phnom saat malam, keren banget. Nanti deh kapan-kapan setelah pandemi ini berakhir mau kluyuran lagi ke PP. Makasih yaa sudah berbagi cerita

    Like

  2. Independence Monument sama Royal Palace bagus banget, Mba 😀

    Bikin keliling Phnom Penh berasa nggak rugi dan cape-cape amat ya 😀

    Like

  3. Baktiar Sontani

    Wiii gedungnya keren.. itu Wat Phnom kalo pas lampunya nyata paling pas difoto pas blue hour bisa dramatis.. btw ngeri ya suasana penjaranya, gak kebayarng seperti apa dulu perlakuan Khmer Merah terhadap narapidana

    Like

    • Gembol Ransel

      banget kak! dua kali ke sana masih tetap merinding dan nggak berani kalau keliling sendiri. baca kisahnya aja bisa bikin ngilu 😐

      Like

Ini ceritaku. Mana ceritamu? Ngobrol yuk..

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: