Puluhan pasang kaki perlahan melangkah memenuhi Taman Mejuah – juah. Meski sisa hujan masih tersimpan di permukaan taman, namun itu tak menjadi alasan untuk mengurungkan langkah tanpa ditemani alas kaki. Bersamaan dengan itu, lengking rendah alat musik tiup yang saya identifikasi sebagai sarune mulai menguarkan aroma Batak ke lapisan udara yang beraroma tanah basah. Lantas para penari muda – mudi itu pun mulai berpasangan, bergerak berlawanan sambil memainkan kaki dan tangan. Sesekali suara gondang pun terdengar ringan beriringan.

Adalah Tari Roti Manis: tari bernuansa mistis yang sejenak menyita mata, menghipnotis saya melalui ekspresi datar para penarinya; melalui gerak tari yang cenderung monoton; juga melalui warna kebaya merah darah dan tudung yang menutupi kepala.
Tari Roti Manis yang berasal dari Tanah Karo ini merupakan sepotong rangkaian dari tari massal 4 puak Batak yang dipentaskan oleh 300 orang penari. Setelah Tari Roti Manis, secara estafet kemudian hadir pula Tari Tolu Sahundulan dari Simalungun, Tari Tak – tak Amera dari Dairi, dan Tari Tor – tor dari Tobasa. Tari massal 4 puak Batak yang berasal dari 4 kabupaten di kawasan Danau Toba ini merupakan sajian puncak dalam pembukaan Festival Danau Toba tahun 2015 yang dihelat di Taman Mejuah – juah, Berastagi.

Rangkaian acara pembukaan Festival Danau Toba diawali dengan Karnaval Ulos sepanjang 500 meter. Kain khas Batak berwarna dominan hitam persembahan Bank Indonesia ini diusung oleh ratusan warga melintasi jalan raya hingga ke pasar buah Berastagi. Karena keistimewaannya, kain ulos ini lantas mendapat apresiasi dari MURI sebagai kain ulos terpanjang di dunia.

Festival Danau Toba tahun ini merupakan perhelatan yang ke-3 setelah dua festival sebelumnya yang digelar di Kabupaten Tobasa dan Samosir. Namun bila dirunut sejarahnya, sebetulnya event ini telah ada sejak tahun 1980-an dengan nama Pesta Danau Toba. Pada mulanya, Pesta Danau Toba hanyalah event lokal yang diselenggarakan sebagai wujud rasa syukur Suku Batak atas keberadaan Danau Toba yang berperan penting bagi kehidupan masyarakat yang mendiami pesisirnya.
Namun seiring dengan semakin menggeliatnya Sektor Pariwisata, Kementerian Pariwisata melihat besarnya potensi event Pesta Danau Toba untuk dikembangkan menjadi event nasional sekaligus menjadi ruang promosi bagi pariwisata Sumatera Utara. Dengan adanya pergantian nama dari “pesta” menjadi “festival” diharapkan dapat memperbesar gaung event sekaligus memperluas audiensnya; tak lagi hanya sebatas masyarakat lokal.
Tiga tahun setelah Pesta Danau Toba bersalin nama, harapan serupa masih disematkan pada event tahunan ini. Seperti yang disampaikan Menteri Pariwisata dalam sambutannya: “semoga Festival Danau Toba dapat menjadi ajang yang efektif untuk mengenalkan pesona Danau Toba beserta geoparknya kepada masyarakat dunia serta stakeholder pariwisata, sekaligus menjadi katalisator dalam mendorong pergerakan wisatawan ke Sumatera Utara.”

Tak hanya sebatas retorika, optimisme yang tinggi pada potensi Danau Toba juga dituangkan Kementerian Pariwisata dalam bentuk target kunjungan wisatawan ke Sumatera Utara di tahun 2016 yang mencapai 1 juta kunjungan untuk wisman dan 15 juta perjalanan untuk wisnus. Sebuah target yang fantastis memang, mengingat jumlah kunjungan wisman ke Danau Toba di tahun 2013 “hanya” mencapai 76,5 ribu wisman, sementara pergerakan wisnus “hanya” mencapai 858,6 ribu perjalanan.
Tapi, kenapa nggak?
Untuk mewujudkan target super fantastis itu Kementerian Pariwisata sudah menyiapkan sejumlah amunisi langkah strategisnya, diantaranya dengan menjadikan kawasan Danau Toba sebagai salah satu dari 10 kawasan prioritas pengembangan di tahun 2016, juga melakukan sejumlah upaya yang diperlukan untuk mempercepat masuknya Geopark Kaldera Toba sebagai anggota Global Geopark Network – Unesco.

Berastagi aman untuk dikunjungi
Sewaktu Kabupaten Karo secara resmi ditunjuk sebagai tuan rumah Festival Danau Toba 2015, banyak pihak menyayangkan dan bertanya – tanya: kenapa harus Tanah Karo? Bukankah Tanah Karo sedang berduka, sementara Gunung Sinabung masih belum puas meluncurkan awan panasnya?
Padahal bila kita mau melihatnya dari sudut pandang yang positif, ada alasan strategis dibalik pemilihan Tanah Karo sebagai tuan rumah Festival Danau Toba, seperti yang dituturkan Bupati Karo, Terkelin Brahmana: “kami ingin menunjukkan pada masyarakat luar bahwa walaupun Gunung Sinabung sedang erupsi, namun tidak semua wilayah di Kabupaten Karo terkena imbasnya. Contohnya Berastagi yang masih tetap aman untuk dikunjungi.” Dengan adanya pergerakan wisatawan ke Kabupaten Karo diharapkan dapat turut berkontribusi pada perputaran ekonomi serta menyentuh kesejahteraan para pengungsi.
Apa yang dituturkan Bupati Karo pun terafirmasi sejak hari pertama saya bermalam di Berastagi. Berastagi yang tersohor sebagai penghasil buah dan sayur tetaplah identik dengan suhu udaranya yang super dingin di malam hari dan atmosfer yang sejuk di pagi hari. Selama berada di sana, tidak sedikit pun saya mendeteksi adanya kandungan abu atau aroma kimia apapun yang mencemari lapisan udara.
Selama tiga hari di Berastagi saya sempat pula sekelebat menyambangi Bukit Gundaling dan Air Terjun Sipiso – piso yang menjadi primadona wisatanya.
Terletak 60 km dari Kota Medan, Bukit Gundaling merupakan destinasi dataran tinggi yang menghidangkan panorama Kota Berastagi, Gunung Sibayak, dan Gunung Sinabung sekaligus dalam satu lokasi. Dari ketinggiannya yang mencapai 1575 mdpl saya bisa menghirup lekat – lekat segarnya udara Berastagi sambil menyesapi indahnya hamparan sawah dilatari siluet Gunung Sinabung yang sore itu terlihat tenang, tak mengganggu.
Di lain hari, dalam perjalanan menuju Balige, saya pun singgah sejenak di salah satu air terjun tertinggi di Indonesia: Sipiso – piso. Terletak sejauh 35 km dari Berastagi, Sipiso – piso merupakan salah satu destinasi favorit wisatawan kala melancong ke Sumatera Utara. Tak seperti air terjun kebanyakan yang menuntut pengunjungnya untuk bersusah payah trekking terlebih dulu, kemegahan Sipiso – piso bahkan bisa langsung dipandangi dari tepi jalan. Meskipun sore itu keindahan Sipiso – piso sedikit tersembunyi oleh mega yang mendung, namun tetap saja pesonanya sulit terbendung; tetap menuai puji dan decak kagum.
Setelah melihat sendiri dua pesona yang dikandung Berastagi, saya berkesimpulan bahwa Berastagi bukan hanya aman untuk dikunjungi; Berastagi bahkan harus disambangi berkali – kali! 😉
Indonesia memang kaya akan tradisi :)) kereeeen :3 hihihihi
AKu belum pernah ke danau toba -_-
LikeLike
Aku blm pernah ke samosir #Sedih
LikeLike
wajar sih kak kalo kamu sedih *pukpuk*
LikeLike
Bangga Jadi Kalak Karo ( orang karo )
LikeLike
🙂
LikeLike
Pengen deh nyambagin danau tobs
LikeLike
jangan cuma pengen, ayo buruan direalisasi 😀
LikeLike
aku seumur umur belum pernah lihat festa danau toba hiks
LikeLike
tahun depan ada lagi say. mangga diagendakan. masa sih kalah sama aku yg orang MInang, hhehe..
LikeLike
hahaha itu dia def
LikeLike
betapa kayanya negara kiat dg kearifan lokalnya
LikeLike
banget 🙂
LikeLike
aku pernah liat tari karo yang terang bulan … serunainya melengking, beda sama seruling toba.. dengernya jadi merinding badan 🙂 sumut emang ngangenin, saya udah 3x kesana dan pengen balik lagi…
LikeLike
aku suka banget denger suara serunai. merdu, mistis, menghipnotiss 😀
aku pun pengen banget balik lagi kak. pengen keliling Sumatera Utara 🙂
LikeLike
ini ada lagu sedih dari karo kak, judulnya piso surit, tentang cewe yang galau ditinggal pacarnya hihi… monggo kalo mau didengerin
semoga gak bikin hati jadi galau
LikeLike
whuaaaa Defi sekarang jalan-jalan terus, asiiikk 😀
aku dari dulu pengen banget ke sipiso-piso, makin mupeng liat fotonya
LikeLiked by 1 person
ralat kak, bukan jalan-jalan terus, tapi perjalanan dinas terus., bwehhehe.. hamdalah ya kak, rejeki blogger syariah 😎
sipiso-piso emang kece bgt dehh. sayang aku nggak sempet trekking 😦 *pokoknya harus balik lagi*
LikeLike