Sisa hari selepas dari Pink Tangsi, kami habiskan di Pantai Kuta, menikmati senja yang tidak jingga, dari pesisirnya. Pantai Kuta terlihat kelabu sore itu, tanpa tuan matahari yang telah beranjak pergi. Seorang gadis kecil, barangkali belum 7 tahun usianya, masih belum mau menyerah, terus menawari saya dengan gelang dagangannya. Dia terus membuntuti kami. Kesana-kemari. Bahkan ketika kami asyik bercengkerama, mencoba tak hirau akan keberadaannya, gadis kecil ini masih tetap setia, menunggu saya untuk membeli dagangannya.

Gadis Kecil Penjual Gelang - Lombok Tengah
Pantai Seger keesokan harinya dengan gadis kecil yang berbeda

Dia adalah gadis kedua yang menghampiri kami. Melihat kawannya yang lebih dulu sukses merayu, dia pun gak mau kalah, sangat agresif membujuk saya supaya membeli juga gelang-gelangnya. Ahh adik kecil, saya kan bukan gurita yang punya banyak tangan. Kalau saya membeli gelangmu juga, apa kau kemudian akan memanggil kawanmu yang lain untuk memaksa kami membeli gelang yang ketiga?! Maka dengan perasaan tidak nyaman, adik kecil ini terpaksa kami abaikan.

Sewaktu membeli jagung bakar, giliran ayah si adik yang membujuk saya agar membeli songket dagangannya. “Lebih murah dari Sade, mbak”, katanya. “Yang ini warnanya bagus”, si adik kecil menimpali. Tidak dipungkiri, kali ini saya tergoda untuk membelinya. Bukan karena termakan bujuk rayu ayah-anak itu. Saya mengoleksi beberapa buah songket, dan ingin juga punya satu saja songket Sade. Tapi ransel saya keburu buang muka duluan, enggan menampung beban tambahan, sedang perjalanan kami masih panjang. Menjelang pulang, si adik kecil masih saja setia membuntuti kami hingga ke parkiran, saya jadi tidak tega untuk meninggalkannya begitu saja. 

***

Secara geografis, Pantai Kuta terletak di Lombok Selatan, berdampingan dengan Pantai Seger, Tanjung Aan, dan Pantai Batu Payung. Kawasan Kuta memang digadang-gadang sebagai salah satu kawasan wisata andalan Lombok selain Kawasan Senggigi. Sejumlah penginapan, rumah makan, dan tempat hiburan malam mulai menjamur disini. Akses jalannya juga sudah lumayan, meskipun hanya sampai pertigaan Hotel Novotel. Sisanya aspal geradakan sampai Tanjung Aan.

Malam pertama di Kuta, kami sengaja mencari penginapan yang agak jauh dari pantai, dengan asumsi tarif yang lebih murah. Pilihan jatuh pada Penginapan Batu Riti di pinggir jalan yang sepi dan gelap sekali, jauh dari hingar bingar dan kerlip lampu Kawasan Kuta di malam hari. Melihat sepintas pada kamarnya yang lumayan nyaman dengan satu spring bed besar berselimutkan bed cover, saya langsung jatuh hati, malas mencari lagi kesana-kemari. Saya pun tak merasa perlu mengecek toiletnya terlebih dulu, secara badan sudah teramat letih, pengennya cepat-cepat menyelesaikan administrasi, lalu berlari menerjang kasur, tidur.

Jatuh hati langsung berganti jengkel setengah mati sewaktu mendapati toiletnya yang serupa kandang sapi. Jangankan untuk mandi, sekedar mencuci muka pun saya enggan. Sedang aktivitas buang air terpaksa saya lakukan di toilet rumah makan. Hhaha.. *kemudian tersadar kalau saya masih belum pantas menyandang gelar backpacker*

Besoknya kami putuskan untuk berganti penginapan dan memilih Seger Reef yang letaknya hanya sejauh dua puluh ayunan langkah kaki dari tepi Pantai Kuta. Kejengkelan makin menjadi ketika mendapati penginapan yang fasilitas kamarnya hampir sekelas bintang empat ini, tarifnya cuma berbeda 30 ribu dari Penginapan Batu Riti. Bikin nyengir gak tuh?! :mrgreen: Tapi menurut sang pemilik, ini memang tarif termurah yang bisa dia berikan. Kalau sudah musim liburan, tarifnya bisa melonjak dua kali lipat. Dan meskipun di pagi hari kamarnya kelihatan sangat nyaman, malamnya saya malah susah tidur karena raungan anjing yang tak hentinya sahut menyahut.

Kawasan Kuta di malam hari, di tiap sudutnya menawarkan nuansa malam yang berbeda. Ada kafe berpenerangan lembut dengan musik yang juga lembut. Ada pula pub yang nyetel keras-keras musik beraliran… dangdut! 😯 Tapi kalau saya perhatikan, kedua tempat ini sama-sama terlihat sepi peminat. Turis-turis asing keliatannya lebih senang berbaur dengan warga lokal; bermain billiard, nonton bola, atau sekedar nongkrong di warung yang jauh dari keramaian.

Hampir semua rumah makan, kafe dan restoran di kawasan ini bernama kebarat-baratan. Namun saat makan malam tiba, hanya satu tempat yang terlihat selalu ramai pengunjung: ‘Rumah Makan Murah Meriah’. Rumah makan ini meskipun terkesan ingin menyasar turis lokal, tapi hampir semua menunya didominasi selera bule. Daftar menunya pun ditulis dalam Bahasa Inggris. Salah satunya yang bikin ngakak: noodle soup vegetable yang tak lain mie rebus pake sayur. 😀

Meskipun judulnya rumah-makan-murah-meriah, tapi ternyata harganya tidak bisa dibilang murah. Dan meskipun terkesan menyasar turis lokal, tapi rumah makan ini juga dipenuhi bule-bule yang barangkali sudah mengerti apa itu artinya ‘murah meriah’ tapi tetep kecele karena ternyata harganya gak sesuai dengan namanya. :mrgreen:

***

Related Post:

12 comments on “Nuansa Kawasan Kuta

  1. Pingback: Menyimak Potret Kehidupan Desanya Para ‘Penculik’ | TraveLafazr

  2. plg enak nikmatin kuta pas pagi-pagi jam 6an, sepiii ;))

    Like

  3. Suka ngak tega kalo yg jualan anak kecil dan nungguin kita dengan mata nanar, gw milih pergi atau hanya memberi uang sekedar nya tanpa membeli 🙂

    Like

  4. pengen nangis pas baca tulisan ini! 😥 *lebay* pengen banget bisa kesini belum kesampean juga. semoga setelah lebaran deh capcusss kesana! salam kenal! 😀

    Like

  5. Bawa indomie mba sebanyak2nya dari rumah terus nyeduh disana! hahaha…

    Kebetulan salah warung “murah” aja kali ya, tapi tetap nice info dah buat gw yg blum pernah ke sana (T_T)

    Like

  6. Info Lombok Tengah

    sebenarnya bisa dapet harga yg jauh lebih murah adalkan tau triknya :)Se

    Like

  7. banghendri

    mungkin murah meriah standarnya bule mbak :mrgreen:
    salam kenal dari Bandung 🙂

    Like

  8. sudah jadi rahasia umum ya kak kalo harga makanan di daerah wisata itu beda jauh sama daerah kos-kosan…heheheh 😀

    Like

    • bwahhaha.. umumnya sih iyaa dek. tapi gak selalu dan gak semua sih. tiap ke Jogja misalnya, pasti pengeluaranku lebih irit, karena makan disana, sekalipun di Malioboro apalagi Gunung Kidul, jauh lebih murah dari harga makanan sekitar kosanku di Bandung :mrgreen:
      dan kalau diperhatiin, banyak kok tempat2 makan di kawasan wisata yang segmentasinya para backpacker. apalagi sekarang, backpacker makin menjamur, makin banyak juga deh tempat2 makan murah di kawasan wisata. asal gak males nyari dan gak kecele, pasti nemu 😀

      Like

Leave a Reply to Defi Laila Fazr Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: