Alkisah dahulu kala di Kerajaan Tonjang Beru, hidup seorang putri berparas elok menawan. Kecantikannnya mencuri perhatian sejumlah pangeran dari sejumlah kerajaan. Satu per satu sang pangeran melayangkan lamaran. Tak satu pun dari lamaran itu yang diiyakan. Sejumlah pangeran dapat menerima penolakan sang putri dengan hati lapang, kecuali kedua pangeran dari Kerajaan Johor dan Kerajaan Lipur yang menerima penolakan dengan hati meradang.
Ancaman perang pun dilayangkan demi memaksa sang putri agar menerima lamaran pangeran. Tak ingin rakyatnya menjadi korban, sang putri pun memilih mengorbankan dirinya. Pada hari yang telah ditentukan, sang putri mengundang kedua pangeran untuk datang menemuinya di tepi pantai. Bukan untuk memilih salah satu diantara mereka. Dihadapan sekian rakyatnya, sang putri justru memilih melompat dari tebing, menghilang dalam gelombang, melebur dengan lautan.
Tak lama berselang setelah sang putri menghilang, dari segala penjuru pantai, muncul ribuan cacing yang dipercaya rakyatnya sebagai jelmaan Putri Mandalika. Cacing ini kemudian dikenal dengan nama ‘Nyale’ yang muncul secara rutin setiap tahun. Kemunculannya kini menjadi agenda pariwisata tahunan Kabupaten Lombok Tengah bertajuk ‘Festival Bau Nyale’.
Festival Bau Nyale berlangsung antara bulan Februari dan Maret setiap tahunnya, atau setiap tanggal dua puluh bulan sepuluh menurut penanggalan Sasak. Bau Nyale yang dalam Bahasa Sasak berarti ‘menangkap Nyale’ merupakan inti dari festival ini, yakni mengumpulkan Nyale sebanyak mungkin. Nyale yang didapat kemudian sebagian akan ditaburkan di sawah karena dipercaya dapat menyuburkan tanah hingga membuat hasil panen berlimpah. Sebagian lagi akan diolah menjadi lauk-pauk, penyedap masakan, antibiotik, bahkan obat kuat karena ternyata Nyale memiliki kandungan gizi yang tinggi.
Nyale memiliki kandungan protein yang jauh lebih tinggi dari telur ayam ras dan susu sapi. Sebagai perbandingan, Nyale memiliki kandungan protein sebanyak 43.84% sedangkan telur ayam ras dan susu sapi masing-masing hanya sebesar 12.2% dan 3.50%. Kadar fosfor dalam Nyale (1.17%) juga cukup tinggi bila dibandingkan dengan telur ayam ras (0.02%) dan susu sapi (0.10%). Nyale bahkan memiliki kandungan kalsium (1.06%) yang ternyata masih lebih tinggi dari kandungan kalsium susu sapi yang hanya 0.12%.
Masyarakat Lombok umumnya mengolah Nyale menjadi pepes yang dibungkus dengan daun pisang lalu dibakar. Ada juga yang mengolah Nyale menjadi emping atau dikeringkan untuk digunakan sebagai penyedap masakan.
Tak hanya di Lombok, Nyale yang tergolong kelas polychaeta ini ternyata juga muncul di berbagai belahan lain di dunia, diantaranya di Kepulauan Samoa, Teluk Mexico, beberapa pantai di Jepang dan Prancis, serta di Kepulauan Bermuda. Nyale merupakan jenis cacing yang hidup di dasar laut, dimana siklus reproduksinya dipengaruhi oleh benda-benda angkasa. Kemunculan Nyale di pesisir pantai, yang hanya terjadi sekali dalam satu tahun, tak lain dikarenakan cacing ini sedang melangsungkan aktivitas pemijahannya secara massal.
Di Indonesia, pada saat yang bersamaan, Nyale juga menepi di Pantai Wanokaka, Sumba Barat. Kemunculan Nyale di Sumba Barat turut dijadikan ritual adat yang menjadi bagian dari rangkaian festival tahunan Pasola, permainan adu ketangkasan saling melempar lembing dari atas kuda yang dipacu kencang. Meskipun dengan latar belakang legenda yang berbeda, masyarakat Sumba penganut kepercayaan Marapu memaknai kehadiran Nyale dengan cara yang serupa dengan masyarakat Sasak, Lombok. Mereka yang berhasil mengumpulkan Nyale dalam jumlah yang banyak, dipercaya akan mendapat rezeki yang berlimpah di tahun yang sama.
Nyale yang terkumpul kemudian akan diolah menjadi masakan khas Sumba berupa sambal yang dikenal dengan nama Bokosawu Nyale, olahan praktis cacing Nyale mentah yang hanya dicampur dengan daun kemangi dan perasan jeruk purut. Selain sebagai sambal, Nyale juga biasa diolah menjadi sayur atau disangrai dengan campuran kelapa parut, bawang merah, bawang putih, jahe, daun kemangi dan cabai lombok. Nyale yang diolah dengan cara digoreng tanpa minyak ini dikenal dengan nama Nyale Pa’dongo.
Tertarik mencicipi cacing yang kaya akan gizi ini?! Tentu saja harus datang ke Lombok atau Sumba Barat di waktu yang tepat, yaa.. 😉
Referensi tulisan dan sumber gambar :
- Legenda Putri Nyale
- Festival Bau Nyale
- Pasola, Mensyukuri Berkah di Pulau Arwah
- Nyale, Potensi Lokal Berbasis Internasional
- Enaknya Sambal Cacing Laut Khas Sumba
Note :
Artikel ini juga dimuat di website Nutrisi Untuk Bangsa, diikutsertakan dalam kontes Jelajah Gizi dan berhasil membawa penulisnya menjadi salah satu dari 10 Petualang Jelajah Gizi yang akan mengeksplorasi gizi kuliner di Kepulauan Seribu
Pingback: Menyimak Potret Kehidupan Desanya Para ‘Penculik’ | TraveLafazr
gambar nyale-nya horor terutama yg warna ijo. kayak cacing keracunan. hiiii
LikeLike
Bergizi sih iya, tapi ngeliat tampilannya, bikin bulu kuduk merinding 😀
LikeLike
Nyale… oh nyale…kayak apa ya rasanya?, saya gak punya saudara yang tinggal di Lombok… jadi pingin cari temen nih, barangkali ada orang Lombok yang mau jadi sahabat saya… dengan ini saya melamar demi Nyale…..
LikeLike
Pingback: Jelajah Gizi (#1) : Bukan Wisata Biasa | TraveLafazr
Wah nyaleeeee …
keren catpernya sist 😀
http://sigembelpacker.blogspot.com/
LikeLike
Itu…cacing? Memang sih cacing ada yang bikin obat juga….
LikeLike
yoi sob, cacing laut
LikeLike
Kayaknya enak dan gurih ya, mba..tp aku geli ngeliat cacingnya..hehe
pas gambar aku skip2 😀
LikeLike
tapi kalo udah jadi masakan, cacingnya gak keliatan lagi bentuk aslinya lho mba Mel 😀
LikeLike
liat gambar paling atas agak geli gmn gitu,
tp liat hasil masakannya, jadi penasaran pengen nyoba hehe
Salam kenal dari Batam mbak 🙂
LikeLike
penasaran harus ditamatkan mba. ayo dicoba.. 😆
salam kenal Mba Dian 😀
LikeLike
Katanya ga boleh makan Nyale banyak-banyak karena proteinnya yg tinggi itu.
LikeLike
wahh, begitu yaa?! hmmmn..
mungkin itu sebabnya kali yaa, kenapa nyale cuma mau muncul setahun sekali *toyor kepala sendiri 😆
LikeLike
walau memiliki banyak kandungan gizi, namun tetap aja terasa geli melihatnya apalagi memakannya
baru kali ini saya dengar kisah tentang cacing ‘Nyale’
LikeLike
mungkin bisa coba pepesnya mbak, kan gak keliatan lagi bentuk cacingnya
LikeLike
Saya mungkin orang lombok yg gak pernah ikut “bau nyale”.. 😀
salam kenal, jika berkenan monggo mampir ke http://toliqfoto2.blogspot.com/
LikeLike
wahh, kok gitu?! padahal cuma tinggal koprol doang udah nyampe. takut sama cacing yaa?? hhehe..
salam kenal kak Toliq 😀
LikeLike
wooww,,, yg namanya cacing mengelitik banget, ,, gmn ya uda lihat gambar gelii pa lagi mau makan, 😀
salam kenal ya mbak,,
LikeLike
sepertinya itu cuma soal persepsi kita aja lho mba. hhehe..
salam kenal mba Lisna 😀
LikeLike
halal atau haram?
ingin coba. tertarik pada kandungannya. tapi..
LikeLike
Beberapa artikel yg saya baca sih bilang kalau nyale itu halal, kakak. Tapi ada juga yg mendikotomi secara kasar kalau cacing itu haram. Entah yg dimaksud cuma cacing darat atau semua jenis cacing. Karena nyale ini kan hidupnya di dasar laut. Jadi masih perlu penjelasan lebih lanjut dari orang/lembaga yg punya wewenang ilmiah untuk menjawab pertanyaannya 🙂
LikeLike
Apapun yg berasal dari laut itu hukumnya halal asalkan memang layak dan wajar untuk dimakan. 🙂
LikeLiked by 1 person
Jenis cacing yang unik, dan baru tau nih..mungkin tinggal pengolahannya saja yang lebih menarik, agar nantinya dapat diterima di masyarakat, padahal kandungan gizi nya bagus sekali.
Nice artikel.. 😀
LikeLike
mungkin kalau dikasih saos spaghetti bisa lebih menggugah selera yaa?! hhehe..
LikeLike
nah bisa tuh, jadi ga ketauan kan kalo itu “cacing”, tapi penampakan spagheti. Siapa aja pasti doyan tuh ya~ haha..
LikeLike
Masya Allah…. aku giguuu bangettt 😦
gak pernah kebayang dceh bisa makan cacing nyale ituu…
salam kenal yaakk 🙂
LikeLike
salam kenal Kak Noorma 😀
LikeLike