Menurut beberapa orang, yang tak sedikit jumlahnya, packing dan browsing merupakan aktivitas yang paling bikin males ngerjainnya sebelum traveling.
Traveling tanpa packing? Bisa-bisa aja sih selama kulit kalian itu kulit badak yang gak akan protes sama debu dan kotoran yang menempel di pakaian yang dipake berhari-hari. Atau kalian punya banyak uang untuk membeli baju baru di tempat tujuan. Ehh, tapi yang namanya packing, kan, bukan hanya sekedar urusan mengepak pakaian. Apalagi kalau kalian mengidap penyakit terlalu-banyak-pantangan, packing tentu wajib dilakukan.
Traveling tanpa browsing? Juga bisa-bisa aja asalkan kalian siap gak bisa tidur karena ternyata hotel yang kalian inapi gak nyediain boneka beruang teddy untuk kalian peluk sambil bobo’ cantik. Apakah hubungannya? Silakan pikirkan sendiri! 😛
Saya sendiri termasuk pelancong yang paling males dengan urusan packing. Tapi, keinginan untuk selalu tampil kece di segala cuaca, dimanapun berada, memaksa saya untuk tidak malas mencocok-cocokkan busana yang setidaknya memakan waktu satu jam lamanya. 😎 Lalu kalau soal urusan browsing, saya telah belajar dari pengalaman untuk tidak menyepelekan urusan yang satu ini.
Karena sesungguhnya para pelancong itu termasuk orang-orang yang merugi, kecuali mereka yang bersedia meluangkan waktu untuk browsing sebelum traveling. (HR TraveLafazr)
Maka menghimpun informasi dan menyusun itinerary hampir selalu saya lakukan, meskipun nanti dalam prakteknya tak jarang sedikit-banyak menyimpang. Dan bisa saja terjadi, pada akhirnya ternyata saya ‘tidak kemana-mana’ tapi justru menemukan makna perjalanan yang sesungguhnya, yang berbeda dari biasanya. He?! Gimana bisa?!
Begini kawan.,
Pada waktu libur Natal kemarin, kami berniat menghabiskan waktu mengunjungi satu per satu pantai selatannya Kabupaten Garut. Berhubung jalurnya melewati kediaman Papandayan, rasanya gak sopan kalau kami gak mampir sekalian, menengok keadaan kawah si Papandayan. Lagipula, artikel yang saya temukan sewaktu browsing mengatakan kalau akses ke Papandayan ini mudah saja, bisa diakses dengan roda dua. Bayangan saya, Kawah Papandayan ini sepertinya, sih, 11-12 dengan Kawah Ratu Tangkuban Perahu atau Kawah Putih Ciwidey yang tak butuh usaha ekstra untuk mencapainya.
Tapi kesimpulan yang ditarik dari minimnya informasi itu pun berubah total begitu kami melewati gapura kawasan Papandayan. Kok jalannya rusak kacau gini yaa?! Seperti menyiratkan kalau Kawah Papandayan bukanlah objek potensial yang menjadi magnet bagi wisatawan. Jangan-jangan rupa aslinya gak sekece fotonya. Arrgghh.. Perjalanan kami, pun, kemudian bercampur keraguan, secara jalannya sepi mencurigakan juga bikin deg-degan karena sempat bertemu sekumpulan pemuda yang membawa parang sambil tertawa cekikikan mengerikan. Namun kami terus berjalan, pura-pura mengabaikan, sambil menambah kecepatan. Diambang keputusasaan, saya sempat bertanya lokasi pada warga lokal yang dijawab dengan bahasa sunda yang tidak saya mengerti. Tapi dari bahasa tubuhnya, saya bisa simpulkan kalau kami gak salah jalan.
Singkat cerita, akhirnya kami tiba juga di pintu masuknya yang disambut dengan pemandangan sejumlah pendaki berseragam lengkap. Karena gak berniat camping, kami hanya diminta membayar 5K untuk tiket masuk dua orang. Sempat saya usulkan ke Mas Bayu agar kami menyewa jasa pemandu. Tapi dasar pacar saya itu kadang suka sotoy, usul saya ditolak mentah-mentah. Jadilah kemudian kami melangkah tak tentu arah. Gak tau harus lewat jalan yang mana. Sejauh mata memandang, medan yang kami lalui berupa batu, batu, dan batu sepanjang jalan, semacam jalan bebatuan selepas letusan. Gak ada satupun penunjuk arah yang menunjukkan letak keberadaan spot-spot kece di Papandayan.
Hampir satu jam menjelajah, akhirnya kami menyerah. Danau Papandayan yang berwarna kehijauan tak juga kami temukan. Medan yang terlihat makin mengerikan menjadi mustahil untuk ditaklukkan secara kami minim persiapan. Hei kawan.. Lihatlah kaki saya yang hanya beralaskan sendal jepit, sementara pengunjung lain bersepatu hiking. Kayak gini kok mau naik gunung?! *Diketawain warga sekampung* Mana saya tau kalau medannya ternyata seperti ini. Inilah akibatnya kalau browsing setengah-setengah. Bak prajurit kalah perang, akhirnya kami pulang dengan muram menuju pusat informasi, menemui pemandu, menamatkan rasa penasaran.

Menurut Kang Ramdan, pemandu yang kami temui sore itu, pengunjung biasanya memang akan kesulitan menemukan spot-spot keren di Papandayan tanpa bantuan pemandu. Jalur yang akan dilewati pun sering berubah-ubah karena kontur bebatuan yang mudah berubah akibat longsor saat hujan. Jadi kalau mau puas sekaligus aman, yaa memang harus rela merogoh kantong lebih dalam. Tarifnya sekitar 200K untuk bisa mengunjungi semua spot kece di Papandayan tanpa camping. Dengan taksiran waktu mendaki pulang-pergi sekitar empat jam. Setelah melihat koleksi foto di kantor informasi, kami tergiur untuk kembali lagi kesini esok hari. Danaunya, sungainya, hutan mati, dan hamparan taman edelweiss. Ahh, rugi sekali sudah jauh-jauh datang kesini tapi gagal bersilaturahmi, melihat langsung rupa kece mereka.
Supaya bisa menyaksikan sunrise yang super duper keren dari Pondok Saladah, salah satu spot di Papandayan, kami ditawari untuk menginap saja di warung dekat kantor informasi. Jadi jam empat besok pagi bisa langsung mendaki. Waww.. Warung yang terlihat sangat mungil dari luar ternyata memiliki ruang tersembunyi di lotengnya. Cukup lumayan untuk dipakai menginap semalam, dengan tarif seikhlasnya. Saya pun sempat pula tergoda untuk mencoba, secara ini akan jadi pengalaman pertama. Tapi dengan sejumlah pertimbangan, kami pun akhirnya memilih untuk pamit pulang dan berjanji akan kembali lagi kesini esok pagi.
Tapi janji tinggallah janji. Jalan menurun yang licin selepas hujan, ditambah mesin motor yang sengaja dimatikan, membuat motor matic yang kami kendarai meluncur lepas kendali. Kami kecelakaan di turunan Papandayan.
Entah berapa lama kami tergeletak tak berdaya di atas aspal, sampai kemudian malaikat pun datang. Bukan. Bukan malaikat pencabut nyawa. Kondisi kami gak separah itu, kawan. Malaikat yang saya maksud tak lain adalah manusia-manusia baik hati penolong kami. Segelintir warga lokal dan beberapa pengunjung yang akan mendaki. Dengan dibantu mereka, kami dipapah menepi, dibersihkan luka-lukanya, dibalurkan betadine dan perasan air daun kirinyuh, yang diambil tak jauh dari tkp. Apa kalian pernah mendengar isu-isu manfaat dari daun kirinyuh ini, kawan? Katanya, sih, daun ini bisa bikin luka cepet kering. Katanya lagi, daun kirinyuh ini juga cukup banyak manfaatnya. Bisa mengobati berbagai penyakit, kecuali sakit karena patah hati.
Singkat cerita, sore itu akhirnya kami menerima ajakan seseorang agar menginap saja di rumahnya. Adalah Teh Ita dan keluarganya yang menjamu kami bak keluarga sendiri. Kami dipanggilkan dokter, dibelikan cemilan, segala keperluan kami disiapkan. Selagi kami sibuk dengan luka kami, mereka pun sibuk di dapur menyiapkan makan malam sederhana, tapi enak banget rasanya. Sayur kangkungnya itu lho, terasa manis, beda dengan yang biasa saya makan. Barangkali karena baru saja dipetik dari kebunnya.
Kawan, sesungguhnya keluarga Teh Ita bukanlah keluarga berada. Barangkali untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, pun, mereka masih kekurangan. Sehari-harinya, suami Teh Ita bekerja sebagai pemandu di Papandayan, sedang Teh Ita sendiri berdagang souvenir. Tapi toh kondisi ini gak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak menolong kami. Sejujurnya, saya jadi malu menerima kebaikan mereka. Malu karena selama ini saya terlalu perhitungan dalam mengeluarkan uang saat berwisata.
Saya boleh saja berorientasi pada backpacker-budget, berburu tiket promo, mencari penginapan murah, berhemat dalam hal akomodasi. Tapi seharusnya, saya tidak pelit-pelit saat berada di tempat wisata. Apalagi di objek-objek yang masih dikelola secara swadaya oleh warga lokal. Karena perjalanan seharusnya juga diwarnai dengan berbagi. Bukankah ada rejeki yang mereka harapkan dari kedatangan kita, kawan?! Inilah barangkali yang ingin perjalanan ajarkan pada saya kali ini. Saya boleh saja berhemat, tapi jangan sampai hemat menjadi alasan untuk tidak memberi dan berbagi. 😉
Behind the scene:
Dua hari setelah kecelakaan kami, seorang teman tetiba bbm saya. Tanpa tedeng aling-aling dia langsung menanyakan apa saya baik-baik saja. He?! Bagaimana dia bisa tau? Kami belum sempat mengabarkan kejadian ini ke siapapun. Update status facebook atau twitter pun nggak. Temen saya bilang, dia semalam bermimpi bertemu dan berdialog dengan Mas Bayu, sambil ngeliat saya. Dia juga agak bingung menjelaskan mimpi absurdnya. Tapi entah bagaimana dari mimpi itu dia bisa berkesimpulan kalau saya kenapa-kenapa. ❓ ❗
itu kejadian tahun berapa gan?
makasih 😀
LikeLike
2012 akhir gan 😀
LikeLike
wihhh kerennn..mendaki gan?
terimakasih 😉
LikeLike
Mantep banget mbak cerita perjalanannya
terimakasih juga telah berkunjung ke papandayan
tempat wisata yang bisa kita,saya banggakan sebagai orang garut,
LikeLike
wah kasihan bgt untungnya kamu baik2 saja ya, emang jalurnya agak begitu penuh bebatuan
LikeLike
justru aku kecelakaannya pas di aspal yang mulus kak
LikeLike
iya sih emang namanya lg kena musibah
LikeLike
semoga untuk kedepannya bis berhati-hati lgi untuk yang main kesana
LikeLike
siap kakak. makasih yaa 🙂
LikeLike
Pingback: Kecelakaan di Papandayan
ngakak baca quote nya ttg “browsing” hahahahha
LikeLike
LikeLike
untung kak ngga kenapa-kenapa, semoga bisa jadid pelajaran buat kedepan
LikeLike
iyaa, makasii yaa Kak Yos..
salam kenal 🙂
LikeLike
Hadeeeuh… mematikan mesin motor saat turunan itu berbahaya sekali. Jangan diulangi lagi ya, Mbak Def. 🙂
LikeLike
baiklah Kakak Citra. makasii yaa 🙂
LikeLike
well, backpacker emang ngirit, tapi bukan berarti pelit dong. o iya, matiin mesin motor di jalanan turu diwaktu hujan itu tidak direkomendasikan sama sekali, lain kali hati – hati deh 🙂
LikeLike
sepakat dunia akhirat mas –> ngirit bukan berarti pelit
siap. lain kali akan lebih hatihati. makasii yaa 🙂
LikeLike
Seneng liat penjabaran cerita nya 😀
LikeLike
seneng juga jalanalakere udah mampir baca 🙂
LikeLike
bener bangwt…backpacker bukan berarti harus pelit ngeluarin uang,justru kita yg harus berkontbusi bnyk trhdap pariwisata lokal…ada banyak elemen yg terkait di dalamnya..salah.satunya seperti penolong kalian td…
LikeLike
ho-oh.. label backpacker kadang suka bikin saya kebablasan, berlebihan iritnya
LikeLike
Ikutan tegang deh bacanya. Alhamdulillah gak parah ya kecelakaannya. Diperingatin tuh disuruh hati2 next time. Hehe..
Btw aku setuju sekali sama pernyataan ini -> Tapi seharusnya, saya tidak pelit-pelit saat berada di tempat wisata. Apalagi di objek-objek yang masih dikelola secara swadaya oleh warga lokal. Karena perjalanan seharusnya juga diwarnai dengan berbagi. Ada rejeki yang mereka harapkan dari kedatangan kita, bukan?!
Artikel yang bagus. Thanks for sharing 😀
LikeLike
bukan. sepertinya ini teguran supaya gak pelit-pelit lagi lain kali. hhehe..
thanks for reading mas 😀
LikeLike
sendal jepitnya tak semenarik Wajah manisnya 😀
Salam kenal mbak
LikeLike
ahhahaa.. Makasii mba.. salam kenal juga 🙂
LikeLike