Hujan lebat yang menyambut kedatangan kami tatkala tiba di Wonosobo tak menyurutkan langkah saya untuk segera menjumpai Dieng Plateau, menamatkan rasa penasaran yang telah sekian lama tersimpan. Ahh., traveler mana yang tidak penasaran dengan Dieng Plateau?! Dataran tinggi yang kaya akan pesona alam dan budaya ini terlalu menggoda untuk tidak dijamah.
Wonosobo merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi. Bak anomali cuaca karena sepanjang perjalanan Purwokerto – Purbalingga – Banjarnegara cuacanya sangat cerah. Meskipun tak lama hujan kemudian mereda, berganti kabut tipis yang turun perlahan, lalu memekat dengan cepat. Membuat jarak pandang menjadi demikian dekat. Jalan raya menjadi sedikit berbahaya bagi pengendara. Mengingat keberadaan jurang di salah satu sisi jalan, membuat sepanjang jalan saya menjadi deg-degan. Jalanan yang licin dan udara yang semakin dingin turut menambah kecemasan. Mas Bayu yang mulai menggigil membuat saya khawatir, takut hilang keseimbangan, secara waktu itu kami berkendara dengan roda dua.
Inilah nikmatnya mencumbui alam tanpa sekat: berkendara dengan roda dua. Hampir tak ada sensasi yang terlewat. Gemetar menyibak tirai kabut nan lembut namun tak jarang membuat surut. Gigil memeluk dingin yang menggigit, hingga gigi gemeletuk. Pasrah pada hujan yang mengerat debu nan melekat, melarungkan jauh-jauh segala penat. Lalu terlena dibuai lembutnya angin hingga tak sadar sekonyong-konyong limbung dibuatnya. Sensasi yang belum tentu bisa dinikmati bila berkendara dengan kotak sabun. 😉
Tuhan menciptakan Dieng dengan tersenyum. Sepertinya itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kemolekan dataran tinggi ini. Bak sepetak kecil tanah surga yang tercecer di dunia. Kesuburan tanahnya yang dibalut dengan seni dalam bertani membuat berada di Dieng berasa di negeri dongeng. Lahan bertaninya dilukis dengan tanaman berjenis dan tinggi yang sama sehingga membentuk hijau yang harmonis. Bersyukur saya masih sempat merekam semua keindahan ini dalam kepala sebelum kabut pekat menyembunyikan pesonanya. Tak salah bila dataran tinggi ini bernama Dieng. Negeri khayangan tempat bersemayamnya para dewa, kira-kira begitulah arti dari namanya.
Telaga warna adalah objek wisata di Dieng yang paling magnet buat saya. Bagaimana tidak?! Coba saja googling foto-fotonya. Jarang ada, kan, telaga yang berwarna menarik seperti Telaga Warna?! Bila cuaca cerah, telaga akan memantulkan warna hijau, kemerahan, dan biru sekaligus. Hijau karena kandungan belerangnya. Merah berasal dari ganggang merah yang berada di dasar telaga. Dan biru karena efek sinar matahari. Namun awan mendung yang menggantung siang itu membuat saya kecewa berat. Telaga Warna tak terlihat semenarik seperti di foto-foto koleksinya om gugel. Telaga hanya memantulkan satu warna saja: hijau berselimut kabut.
Di dalam kompleks Telaga Warna ini terdapat tiga buah gua yang salah satunya ternyata masih difungsikan sebagai tempat meditasi. Padahal pada hari-hari normal, gua ini tidak dibuka untuk umum sebagai objek wisata. Wisatawan hanya bisa menikmati rupanya dari luar. Fenomena inilah yang justru menarik perhatian saya di Telaga Warna. Betapa masyarakat dataran tinggi ini masih menjunjung tinggi tradisi. Meskipun mungkin bagi sebagian kita, tradisi itu tidak bisa diterima dengan logika.
Untuk bisa memasuki gua, mereka yang ingin melakukan meditasi harus meminta ijin terlebih dulu pada sang juru kunci gua. Biasanya meditasi akan dilakukan selama 3 sampai 7 hari berturut-turut. Gua Semarlah yang biasa digunakan sebagai tempat meditasi. Kebetulan siang itu kami berselisih jalan dengan rombongan orang yang hendak bermeditasi. Dari seorang bapak, yang berprofesi sebagai juru potret keliling, kami memperoleh semua informasi ini. Bahwa kamis depan bertepatan dengan malam jumat kliwon. “Ooo.. Pantesan. Ehh.. Pantesan apa yaa?! Sok tahu dehh!!”
Saya jadi teringat dengan tradisi ruwatan anak gimbal yang masih melekat erat sebagai kultur masyarakat Dieng. Masyarakat Dieng percaya bahwa anak gimbal adalah titisan leluhur mereka. Rambut gimbal yang dimiliki bukanlah genetik yang diwariskan turun temurun dari orang tua, karena pada mulanya anak gimbal ini terlahir dengan rambut normal. Perubahan rambut yang mulai menggimbal ditandai dengan demam dan panas tinggi selama beberapa hari yang akan sembuh dengan sendirinya.

Pada waktunya nanti, setelah prosesi ruwatan dilewati, maka rambut anak gimbal ini akan tumbuh normal kembali. Namun sebelum itu, ada sejumlah permintaan dari sang anak yang wajib dipenuhi orangtuanya. Mencukur rambut tanpa disertai pemenuhan permintaan dipercaya bisa berakibat fatal. Bukan hanya rambutnya yang akan semakin menggimbal, tapi mental sang anak juga bisa terganggu. Menurut kepercayaan masyarakat Dieng, rambut gimbal sang anak ini dihuni oleh sejenis makhluk gaib. Dan permintaan sang anak tak lain adalah merupakan bisikan dari ‘si penghuni’. Maka tak jarang permintaannya aneh dan sukar untuk dituruti. Meskipun memiliki anak gimbal ini terkesan merepotkan, tapi ternyata tidak bagi kedua orangtuanya. Keberadaan anak gimbal ini justru dianggap sebagai berkah yang akan mendatangkan rezeki. Memiliki anak gimbal bisa menjadi kebanggaan tersendiri karena tidak semua anak Dieng memiliki kesempatan melewati fase ini.
Meskipun fenomena anak gimbal ini sulit diterima dengan logika, namun toh tetap saja keberadaannya mengundang antusiasme dan rasa penasaran wisatawan. Ritual ruwatan anak gimbal menjadi salah satu daya magnet wisatawan untuk menyambangi Dieng. Itulah sebabnya tradisi ini selalu disisipkan dalam tiap acara tahunan Dieng Culture Festival.
Kawah Sikidang adalah objek berikutnya yang saya sambangi. Bau belerang akan mulai menyusupi hidung tatkala melangkah mendekati kawah ini. Meskipun berbau menyengat, namun uap belerang ini diyakini berkhasiat untuk menghilangkan jerawat dan membuat halus kulit lho. 😆 Tak seperti Telaga Warna yang membuat saya kecewa; Kawah Sikidang benar-benar memesona dengan suguhan pemandangan kolam asap yang dilatar belakangi bukit. Di dasar kolam itu menyembur air bercampur lumpur panas mendidih. Konon suhunya mencapai 98 derajat Celcius!
Tanah di sekeliling Kawah Sikidang kaya akan kandungan belerang sehingga menjadikannya berwarna putih kekuningan. Kami sempat menemukan lubang luapan lumpur, tak jauh dari kawah utama. Mungkin karakter inilah yang menjadikannya bernama Sikidang karena kemunculan luapan lumpurnya sering berpindah-pindah, melompat-lompat bak kidang yang dalam bahasa jawa berarti kijang. Herannya (mungkin karena saking terlalu seringnya berpindah-pindah) lubang luapan lumpur ini dibiarkan begitu saja tanpa adanya tanda peringatan atau pagar pelindung. Meskipun kecil tapi juga berpotensi membahayakan pengunjung bila lubang luapan lumpur ini luput dari pandangan, bukan?!
Sedikit mengutip penjelasan Wikipedia tentang dataran tinggi ini, bahwa Dieng merupakan dataran dengan aktivitas vulkanik aktif di bawah permukaannya dan dapat dikatakan merupakan gunung api raksasa dengan beberapa kepundan kawah. Sesungguhnya ia adalah kaldera dengan gunung-gunung di sekitarnya sebagai tepinya. Terdapat banyak kawah sebagai tempat keluarnya gas, uap air dan berbagai material vulkanik lainnya. Keadaan ini sangat berbahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah itu, terbukti dengan adanya bencana letusan gas Kawah Sinila tahun 1979. Tidak hanya gas beracun, tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi gempa bumi, letusan lumpur, tanah longsor dan banjir.
Meskipun mungkin suatu saat nanti kecantikan Kawah Sikidang ini akan memudar tak terelakkan karena aktivitas vulkaniknya, namun sungguh sangat disayangkan bila kawah ini mengalami ‘penuaan dini’, memudar kecantikannya karena ulah manusia yang tak mampu menghargai keberadaannya. Saya sungguh tak habis pikir bagaimana pengelola Kawah Sikidang bisa memberi ijin persewaan motor trail beroperasi wara-wiri di sekitar kawah. Membuat pejalan kaki menjadi tidak nyaman. Juga bikin rusak jalan. Rerumputan jadi menghitam. Tanah di sekitar kawah yang berwarna putih kekuningan menjadi bernoda coklat dan hitam karena tercetak jejak ban motor. Benar-benar bikin rusak pemandangan! 😡 Semoga ada teman di Dirjen Destinasi Pariwisata yang membaca tulisan saya..


Objek wisata terakhir yang kami sambangi sore itu adalah Kompleks Candi Arjuna yang kebetulan satu tiket terusan dengan Kawah Sikidang. Kompleks Candi Arjuna merupakan Kompleks Candi Hindu tertua di Pulau Jawa. Meskipun tidak semegah Candi Prambanan, buat saya kompleks candi ini tidak kalah menarik dan gak kalah cantik. Berada di dataran tinggi serta dikelilingi bukit membuat kompleks candi ini terlihat begitu memesona. Ada lima buah candi mungil di kompleks ini yang masing-masing tingginya saya prediksi tidak lebih dari 8 Meter.
Selain Kompleks Candi Arjuna, masih ada beberapa candi lain di kawasan Dieng Plateau yang letaknya menyendiri seperti Candi Setyaki, Candi Gatotkaca, dan Candi Bima. Candi Setyaki dan Candi Gatotkaca letaknya hanya sepelemparan batu dari Kompleks Candi Arjuna. Sedangkan Candi Bima yang merupakan candi terbesar di kawasan Dieng Plateau terletak tidak jauh dari pintu masuk Kawah Sikidang.
Sore ketika Azan Maghrib berkumandang, kami terpaksa harus menyudahi aktivitas kami menjelajahi dataran tinggi ini. Suhu udara sore itu mungkin sudah mendekati nol derajat Celcius. Saya yang saat itu sudah mengenakan jaket sampai tiga lapis sekaligus saja masih merasakan dingin yang begitu menggigit. Menggigil hingga gigi gemeletuk.
Untuk sementara waktu, saya harus cukup berpuas dengan apa yang telah saya cicipi dari Dieng Plateau hari itu. Tapi sungguh dahaga saya akan alam Dieng Plateau belumlah tandas. Masih banyak objek wisata di Dieng yang belum saya sambangi. Saya sampai berniat ingin menghabiskan waktu satu minggu penuh di Dieng lain waktu nanti. Saya ingin melihat Telaga Warna yang berwarna-warni dari atas bukit. Ingin menyambut matahari pagi dari puncak Gunung Sikunir. Ingin menyentuh awan. Ingin bermandi mentari pagi, menyusuri dataran tinggi ini dengan berjalan kaki. Menikmati pesonanya sebelum disembunyikan kabut. Ingin foto-foto di Kompleks Candi Arjuna ketika langit berwarna biru cerah. Saya inginnn sekaliiiii kembali ke Dieng lagi!

***
Note: Tulisan ini telah dibukukan dalam antologi Jelajah Negeri Sendiri (2014) yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
Pingback: MIe Ongklok (Wonosoobo) – IvaOscar
Pingback: Mie Ongklok Paling Enak se-Wonosobo | Gembol Ransel
Sayang banget bukit2 yang harus nya hijau berubah jadi perkebunan, kurang resapan air bisa mengakibatkan longsor
LikeLike
Iyaa mas, Dieng sekarang jadi rawan longsor. Konversi lahannya cepet banget. Cuma dalam hitungan satu tahun, Dieng kelihatan sekali bedanya 😥
LikeLike
Pingback: Pacitan Menawan #1 Nyasar Sekitar Klayar | TraveLafazr
Tuhan menciptakan dieng dengan segala estetika yang ia punya….
di dieng ada kehidupan yang menyegarkan mata, tapi juga kematian mengintai berupa gas beracun yang setiap saat bisa membuncah
LikeLike
sebuah ironi.. 🙄
LikeLike
Gak jadi ke sini…harus tertunda dulu dah….:-(
LikeLike
wahh?! turut berduka cita mas Indra 😕

LikeLike