Satu setengah tahun sejak kali pertama saya kesana, ternyata Kawah Putih telah banyak berubah. Pertanyaannya, apakah perubahan ini merupakan kemajuan yang disukai wisatawan ataukah sebaliknya??
Kawah Putih sebenarnya merupakan danau vulkanik yang terbentuk akibat aktivitas letusan Gunung Patuha. Perjalanan menuju Kawah Putih adalah perjalanan menyusuri alam pegunungan setinggi 2430 mdpl yang cukup memanjakan mata. Memasuki wilayah Ciwidey, mula-mula kita akan disuguhi pemandangan kebun strawberry petik sendiri di kanan kiri jalan. Semakin menanjak, pemandangan berikutnya adalah lembah-lembah hijau nan elok. Mendekati puncaknya, tinggal lah pepohonan hijau menjulang di kanan kiri jalan. Begitu memasuki kawasan ini, berasa masuk kulkas dehh. Sejuk-segar-dingin banget udaranya. Nah, semakin mendekati kawah, lain lagi ceritanya. Bau belerang yang sangat menyengat akan mulai menyusupi hidung, membuat banyak pengunjung memilih untuk berwisata dengan ber-masker-ria.
Yang paling saya sukai dari Kawah Putih ini adalah perpaduan warna antara air danau dengan lumpur-batu di tepinya. Cantik! Danau Kawah Putih memiliki warna yang sangat menarik. Kadang danau akan berwarna hijau muda, kadang hijau kebiru-biruan, kadang putih kehijauan. Tergantung kadar belerang yang terkandung di dalam air kali yaa, seperti Telaga Warna di Dieng Plateau. Dan bisa jadi matahari juga turut mempengaruhi. Sedangkan lumpur dan bebatuan di tepinya berwarna putih. Tidak seperti Kawah Sikidang yang air di dasar kawahnya mendidih, air danau di Kawah Putih ini bisa dicicipi dengan kaki lho.
Fenomena muncul-menghilang-muncul laginya kabut di atas danau juga menarik. Sewaktu saya tiba, sih, kabut sedang pekat-pekatnya. Tapi sebentar kemudian berubah jernih dan terlihatlah tebing-tebing hitam menjulang serta hijau rerimbunan pohon yang melatar-belakangi danau ini. Jadi jangan buru-buru kecewa kalau pas tiba di lokasi pas kabutnya pekat. Tungguin aja. Sayang banget kann kalau gak sempat melihat fenomena keduanya -berkabut dan jernih-.
Meskipun ada peringatan maksimal kunjungan tidak lebih dari 20 menit, saya sih cuek aja selama masih kuat mah. hhehe.. Hampir dua jam saya disana dan gak kenapa-kenapa. Paling-paling saya jadi sering meludah sembarangan, secara mulut jadi gak nyaman karena ‘menelan’ uap belerang. Gak apa-apalah jorok sesekali. Kann alasannya bisa di toleransi. hhehe..
Tapi, mesti siap-siap kecewa juga sih kalau sudah menunggu lama, tapi kabutnya gak lenyap juga. Seperti kali pertama saya kesana. Gak sampai 10 menit saya menyaksikan keindahan Kawah Putih yang bersih tanpa kabut. Sudah itu turun hujan dan kabut pekat menggantung sampai pulang. Antisipasinya, biar puas, main kesini pas cuacanya cerah aja. Jangan diwaktu musim hujan yaa. 🙂
Satu lagi yang menarik dari Kawah Putih ini, meskipun berada tersembunyi di dalam hutan, dikelilingi hijau rerimbunan pohon, tapi pepohonan yang tumbuh di sekitar danau justru meranggas. Gak berdaun. Mungkin gak kuat kali yaa dengan kadar belerangnya. Jadilah pepohonan yang cuma batang dan dahan ini menjadi salah satu objek favorit para banci kamera, termasuk saya. hhaha.. Jadi berasa foto dimana gitu
Yang aneh hari itu, saya sempat bertemu dengan seekor kucing hitam yang lagi wira-wiri di sekitar danau. Yeahh, ketemu kucing di lokasi setinggi ini dengan bau belerangnya yang sangat menyengat adalah sebuah keanehan. Kucing jadi-jadian kahh?? Entahlah. Sekedar sharing info yang saya baca di wikipedia, dulunya warga lokal mengira kawasan Kawah Putih ini angker berpenghuni. Mereka mengira, burung yang mati ketika melintasi wilayah ini adalah semata-mata ulah dari makhluk halus penghuni kawasan itu. Binatang apapun enggan mendekati kawasan ini. Setelah mitos itu diselidiki lebih lanjut oleh seorang bule asal Jerman bernama Junghuhn, barulah diketahui kalau ternyata burung yang mati itu dikarenakan tidak kuat dengan bau belerang yang menyembur dari dasar danau. Nah kann, jadi heran kenapa si kucing hitam bisa anteng-anteng aja. Mungkin mitos warga lokal itu ada benarnya juga kali yaa. hhihi..
Jadi, apakah yang berubah dari Kawah Putih ini??
Kalau waktu kali pertama saya kesana bayar tarif masuknya masih bisa tawar menawar, sekarang tiket masuknya sudah resmi. Meskipun tarif masuknya, dulu dan sekarang, tetap sama gak masuk akalnya menurut saya. Kalau dulu satu mobil berisi 6 orang akan dikenakan tarif sekitar 200 ribuan (seingat saya), itupun sudah tawar menawar, sekarang dengan kapasitas yang sama akan dikenakan tarif sebesar 240 ribu tanpa bisa ditawar. Seratus lima puluh ribu untuk tiket masuk mobilnya ditambah lima belas ribu untuk tiket masuk per orang.
Kalau mau murah, mobilnya di parkir di bawah aja sebelum gerbang masuk. Nah, dari gerbang masuk ke kawah yang jaraknya masih sekitar 5 km bisa ditempuh dengan ontang-anting -kendaraan antar jemput ke kawah- yang ongkos PP-nya cuma 10 ribu. Katanya sih kebijakan ini dimaksudkan untuk meminimalisir roda empat yang naik. Sebagai bagian dari upaya pelestarian objek wisata kali yaa. Heran juga kenapa gak sekalian dilarang aja yaa?? Kalau gini kan rata-rata pengunjung udah pada sewot duluan ditodong tarif masuk roda empat yang segitu besar. Malah banyak yang memilih putar balik, karena kesal mungkin, jadi gak mood wisata lagi. hhihi..
Kalau roda dua sih sudah sama sekali dilarang naik. Kecewa juga saya karena di sepanjang perjalanan menuju kawah ada beberapa ‘menara pandang’ -gazebo lebih tepatnya- yang menarik untuk disinggahi. Kalau nebeng ontang-anting kann gak mungkin minta berhenti dulu 😦
Menurut saya, dan kayaknya sebagian besar pengunjung juga setuju, tiket masuk ke Kawah Putih ini termasuk mahal. Sekedar perbandingan, Kawah Sikidang di Dieng Plateau yang satu tiket terusan dengan Candi Arjuna, tarif masuknya cuma 10 ribu. Apalagi mengingat waktu kunjung wisata yang cuma sebentar. Paling lama 2 jam lahh mengingat bau belerangnya sangat menyengat. Mending yaa kalau fasilitas dasarnya seperti toilet dan mushola memadai. Kenyataannya, fasilitas itu masih dikelola warga lokal yang tentunya mesti bayar. Dengan kondisi yang memprihatinkan: ‘masih untung ada’. Haduh., duitnya lari kemana yaa?!
Memang sih saya mencatat terdapat beberapa peningkatan fasilitas seperti dibangunnya information center serta di-paving blok-kannya jalan menuju goa. Kalau dulu jalan ke goa ini masih berupa tanah licin dan becek, sekarang malah sudah dibuat akses yang bisa tembus sampai ke sisi kawah di sebelah kanan. Bagus sih, tapi masa hanya objek wisatanya saja yang diperhatikan. Toilet kan juga penting. Sangat penting! Mengingat suhu disana yang sangat dingin, pastilah pengunjung sering bolak-balik ke toilet. Masa sih dibiarin gak memadai?! Masa sih luput dari perhatian?!
Jadi, apakah perubahan-perubahan ini merupakan kemajuan yang disukai wisatawan ataukah sebaliknya?? hmmm.. Bersabar dulu aja kali yaa. Namanya juga ber-evolusi, perubahan bertahap, bukan be-revolusi. hhehe.. Mungkin pengelola sedang dalam upaya memperluas lahan parkir di bawah dan meningkatkan jumlah ontang-anting sehingga belum berani menetapkan kebijakan melarang sepenuhnya kendaraan roda empat memasuki area kawah. Mungkin juga pengelola masih membutuhkan banyak dana segar untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas yang belum memadai, yang salah satu caranya bisa diperoleh dari tarif masuk kendaraan roda empat yang mahalnya selangit itu. Siapa tahu giliran selanjutnya adalah mushola dan toilet. Yah kita tunggu saja lahh perubahan-perubahan berikutnya sambil tetap mengapresiasi perubahan-perubahan yang sudah ada 😆
Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai pariwisata dengan sejumlah wisata yang menarik. Sangat bermanfaat untuk dapat mengetahui tempat wisata yang menarik dan penuh dengan suasana baru.Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai pariwisata yang bisa anda kunjungi di http://www.pariwisata.gunadarma.ac.id
LikeLike
Pingback: Pacitan Menawan #1 Nyasar Sekitar Klayar | TraveLafazr
Pingback: (Tidak) Asyiknya Berburu Tiket Promo | TraveLafazr
Pingback: Cerita Dari Gerbong Kereta | TraveLafazr