Kosan saya di Bandung, letaknya hanya sepelemparan batu dari Museum Geologi. Bisa ditempuh dengan hanya berjalan kaki. Hampir setiap hari saya bertegur pandang dengan kemegahan arsitekturnya yang bergaya art deco. Hampir setiap hari pula saya bisa menemukan wajah-wajah penuh keriaan para pengunjungnya dari balik kaca bus-bus besar berspanduk ‘Rombongan Study Tour‘ yang terparkir seri di tepi jalan.
Meskipun hanya berjarak sepelemparan batu, namun belum pernah sekali pun saya menyisihkan waktu untuk benar-benar singgah dan mengintip apa saja yang tersimpan di dalamnya. Bukan karena tidak tertarik. Jarak yang hanya sepelemparan batu membuat saya merasa bisa menyambangi Museum Geologi kapan saja. Jadilah saya menunda dan menunda, hingga tanpa terasa periode studi saya hampir berakhir masanya, dan saya belum juga berkunjung kesana.
Adalah di suatu siang di Bulan Februari, ketika akhirnya langkah kaki saya sampai juga di pelataran halamannya.
Gedung Museum Geologi berbentuk persegi panjang, terdiri atas dua lantai dengan dua sayap di masing-masing lantainya. Berhubung saat itu lantai satu terlalu riuh dengan pengunjung (rombongan study tour), saya pun memilih langsung melenggang ke lantai dua. Tiga buah maket, tiruan kapal LNG, rig, dan anjungan lepas pantai, yang berdiri berjajar di depan pintu masuk sayap kanan, sukses memaku perhatian saya untuk berlutut cukup lama demi memperhatikan detailnya.
Sayap kanan lantai dua merupakan ruang peraga berlabel ‘Sumber Daya Geologi’. Ruang ini terbagi menjadi delapan area yang meliputi area pengenalan sumber daya geologi berikut jenis-jenisnya: mineral logam, mineral non logam, batu mulia, minyak dan gas bumi, batubara, geothermal, dan sumber daya air. Setiap area dilengkapi dengan penjelasan singkat, ilustrasi gambar, dan sejumlah video yang membuat saya berniat untuk menonton semua tayangannya.
Baru selesai menyimak satu tayangan video tentang proses meletusnya gunung berapi, ruangan tiba-tiba dibanjiri pengunjung, riuh dengan suara blitz kamera dan celetukan-celetukan komentar mereka: siswa-siswi SMA rombongan study tour. Untuk sejenak, perhatian saya pun beralih.
Pihak museum sepertinya memiliki kebijakan khusus untuk pengunjung yang datang dengan rombongan. Mereka hanya diberi waktu tak lebih dari sepuluh menit untuk melihat-lihat isi setiap sayap museum. Setelah sepuluh menit itu berlalu, akan muncul himbauan dari pengeras suara agar rombongan berpindah ke ruang berikutnya. Dalam waktu yang sangat tidak efektif itu, mereka, para siswa yang datang dengan tujuan study tour, justru sibuk berpose di berbagai sudut yang dianggap menarik. Malah ada yang sempat-sempatnya melancarkan aksi PDKT. Duh..
Jadi, apa saja yang saya temukan di Museum Geologi?
Di area mineral logam saya bisa menyimak tayangan proses pembentukan mineral logam, proses penemuannya yang diawali dengan penginderaan jarak jauh, hingga proses penambangan dilakukan. Dalam tayangan tersebut diilustrasikan bagaimana proses penambangan tembaga yang dilakukan oleh PT Newmont Nusa Tenggara berikut aktivitas tambangnya yang berlangsung di Batu Hijau. Puluhan mineral logam hasil tambang menghiasi display di area ini, lengkap dengan nama latin, kandungan mineral, lokasi penemuan serta kegunaannya. Sejumlah gambar yang mengikhtisarkan penggolongan mineral logam berikut perannya dalam kehidupan semakin melengkapi khazanah informasi. Pun begitu dengan area mineral non logam yang komposisi peraga dan informasinya serupa dengan area mineral logam.
Yang paling magnet buat saya adalah area berlabel ‘Batu Mulia’. Di area ini saya bisa belajar membedakan jenis-jenis batu mulia yang terdisplay lengkap dengan keterangan komposisi kimia, kekerasan, transparansi dan lokasi penemuannya; mulai dari batu giok, safir, obsidian, hingga kristal. Setiap display batuan dilengkapi dengan sensor tangan yang membuat saya bisa dengan leluasa memutar-mutar batu dari luar kaca, memperhatikan detailnya. Untuk sejumlah batu mulia yang tidak terdisplay, saya bisa mempelajari rupa dan jenisnya melalui video yang juga mengilustrasikan bagaimana proses pengukiran batu mulia hingga menjadi perhiasan dan beragam bentuk kerajinan, seperti kerajinan batu giok di China.
Betapa Museum Geologi begitu bergizi lagi kaya informasi. Setiap penjelasan disajikan dalam bentuk gambar dan video dengan bahasa yang mudah dipahami, jauh lebih menarik dari sekedar duduk manis di kelas dan terpaku pada buku. Tiga jam keberadaan saya disana berlalu begitu saja tanpa terasa. Tahu-tahu jam kunjung museum sudah sampai di penghujung. Dan saya baru menuntaskan empat dari delapan area yang ada di sayap kanan lantai dua. Masih butuh waktu beberapa kali kunjungan lagi untuk bisa tamat menyimak seluruh koleksinya.
to be continued..
***
Museum Geologi Jl. Diponegoro No. 57 Bandung Buka setiap hari Senin – Kamis (08.00 – 16.00) dan Sabtu – Minggu (08.00 – 14.00) Tiket masuk Rp. 2000,- untuk pelajar/mahasiswa dan Rp. 3000,- untuk umum
pengen kesana cuman rame mulu sma study tour anak2 sekolah 😦
LikeLike
pas Ramadhan gini aku perhatiin nggak ada lho kak rombongan study tour 🙂
LikeLike
Wakssss apapun museum nya kok aku ngak perna tertarik masuk museum yaaaa #TuhanAmpuniAKU
LikeLike
akh sebagian koleksi musiumnya mirip dengan yang di musium mataram
LikeLike