Rentak kaki dan detak tifa menyentak nuansa pagi di pesisir Pantai Khalkote, Distrik Sentani Timur, Tanah Papua. Puluhan penari dengan kostum sederhana berwarna kuning-oranye menyala, berderap di atas panggung seraya mengacungkan tombak dan busur panah ke udara mengikuti irama. Alih-alih lemah gemulai, gerakan mereka cenderung gagah, menyulutkan semangat; benar-benar mengejawantahkan Tari Perang yang sedang mereka bawakan.
Tari Perang merupakan salah satu tarian legendaris tertua milik masyarakat Papua. Di masa silam, tarian ini senantiasa dipertunjukan untuk mengobarkan semangat anggota suku yang hendak berperang. Namun seiring perkembangan zaman, tarian ini tak lagi relevan peruntukannya, hingga lantas bersalin fungsi. Demi menjunjung tinggi warisan nenek moyang sekaligus menjaganya tetap lestari, Tari Perang kini acap dipentaskan sebagai tari selamat datang untuk menyambut tamu undangan. Seperti halnya pagi ini, Tari Perang menjadi sajian pembuka pada perhelatan Festival Danau Sentani.

Dengan mengusung tema “satu dalam keanekaragaman untuk kejayaan”, Festival Danau Sentani kembali digelar untuk yang ke-9 kalinya di tahun ini. Meski mengusung tema yang berbeda setiap tahunnya, namun inti dari perhelatan ini tetaplah sama: melestarikan warisan budaya Tanah Papua sekaligus mengangkatnya ke pentas yang lebih luas. Masyarakat Kabupaten Jayapura sepertinya paham betul bahwa budaya yang dilestarikan akan berkorelasi positif pada peningkatan kesejahteraan; sebuah kesadaran adiluhung yang telah mereka deklarasikan sebagai tema Festival Danau Sentani tahun lalu: “budayaku sejahteraku”.
Tak hanya sekedar retorika, kesadaran ini pun tercermin pada keseriusan pemda Jayapura dalam mempersiapkan perhelatan Festival Danau Sentani, serta pada antusiasme masyarakatnya untuk ikut terlibat dalam memperkenalkan budaya mereka. Antusiasme yang membuncah ini dapat dengan mudah saya temukan saat menyaksikan tari kolosal Isosolo yang menjadi sajian puncak pada pembukaan Festival Danau Sentani.

Dari arena panggung yang berlatar keindahan Danau Sentani, rombongan perahu kayu berhias dedaunan terlihat bergerak mendekat. Perahu-perahu itu membawa ratusan penari berpakaian adat yang mewakili belasan suku dari 24 kampung yang mendiami pesisir Danau Sentani. Dari jarak sekian ratus meter di kejauhan, sorak-sorai suara mereka cukup lantang terdengar, mengiringi Tari Isosolo yang mereka bawakan dengan segenap penghayatan; begitu ekspresif.
Tak hanya menari, mereka ternyata juga turut membawa serta hasil bumi seperti umbi-umbian, pisang, dan bambu yang mereka panggul turun saat perahu menepi. Keriaan pun berlanjut hingga arena panggung. Usai menurunkan hasil bumi, mereka kembali menari, memperkenalkan tarian khas sukunya masing-masing. Menurut penjelasan singkat Kadis Budpar Kabupaten Jayapura, Chris Tokoro, dalam tradisi masyarakat Papua, Tari Isosolo biasanya dibawakan sebagai tarian persembahan saat antar suku yang berbeda hendak melakukan pertukaran hasil bumi.

Kembali menilik tema yang diusung pada festival tahun ini, semangat yang hendak mereka kobarkan tak lagi hanya sebatas pelestarian budaya yang membawa dampak kesejahteraan. Pada tema tahun ini, “satu dalam keanekaragaman untuk kejayaan”, tersirat ajakan bagi masyarakat Papua untuk sama-sama menjaga perdamaian di tanah mereka. Masyarakat Papua yang dimaksud tentu saja bukan hanya para penduduk pribumi, melainkan juga para pendatang yang kini menetap di Tanah Papua.
Melalui tema yang diusung, mereka diajak untuk menghidupkan budaya saling menghormati, merayakan perbedaan sebagai modal untuk meraih kejayaan bersama. Seperti yang diucapkan berulangkali oleh Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, dalam sambutannya: “satu utuh, ceria berkarya, meraih kejayaan”. Tema ini pun kemudian digenapi dengan hadirnya pertunjukan parade budaya dari 35 paguyuban nusantara yang berada di Kabupaten Jayapura dan sekitarnya.

Selain menyaksikan beragam tarian khas Tanah Papua, selama festival berlangsung, pengunjung juga dapat berburu kerajinan khas Tanah Papua seperti noken (tas rajut yang terbuat dari kulit kayu), Khombow (kerajinan kulit kayu), kerajinan ukir kayu, serta kerajinan gerabah dan rotan yang dijajakan di stand-stand arena panggung. Saya mengunjungi tiga diantaranya, dan bertemu dengan orang-orang ramah yang tak segan berbagi cerita dan menjawab rasa penasaran saya akan seluk-beluk kerajinan yang mereka hasilkan.
Pengunjung juga bisa melihat kehidupan masyarakat pesisir Danau Sentani lebih dekat dengan menyewa perahu-perahu kayu yang tertambat di Dermaga Khalkote. Dengan menyewa perahu, kita bisa berkunjung ke kampung-kampung terdekat untuk melihat langsung proses pembuatan kerajinan tangan seperti lukisan kulit kayu di Kampung Asei Besar, kerajinan gerabah di Kampung Abar; atau pun sekedar berkeliling menyusuri pesisir Danau Sentani yang dipenuhi deretan rumah panggung dan keramba ikan.


Tertarik untuk menyaksikan Festival Danau Sentani di tahun mendatang?
Festival Danau Sentani berlangsung di tanggal 19 hingga 23 Juni setiap tahunnya. Untuk menghindari kehabisan seat karena animo wisatawan yang cukup tinggi, sebaiknya pesanlah tiket sedari jauh-jauh hari. Berhubung harga tiketnya cukup mahal, rugi sekali kalau datang ke sini hanya untuk menyaksikan festival. Sisihkanlah beberapa hari lagi untuk melihat-lihat Pesona Indonesia yang lain di kawasan Sentani, Jayapura dan sekitarnya.
Kamu bisa mengandalkan Tiket2 untuk pencarian tiket pesawat dengan pilihan penerbangan terbanyak dan jaminan harga termurah. Rajin-rajinlah mengecek halaman promonya. Siapa tahu kamu beruntung mendapatkan tiket idaman dengan harga super duper murah.
Sampai ketemu di Festival Danau Sentani 2017 😀
Kerenn yakk
LikeLike
Wah itu pasti acaranya seru dan menarik bnget ya.. jadi pengen tahu kehidupan di timur sana seperti apa..?
LikeLike
Pengin ke Papua….. Mudah mudahan dapet tiket murah
LikeLike
Kalau lagi festival kaya gini apakah dari transportasi lancar ? atau bahkan bisa macet gitu ?
LikeLike
Ke Sentani tapi gak pas ke festival danau sentani.. waah semoga pas ke Sentani pas momen Festival Danau Sentani..
Foto-fotonya bagus kak Defi.. 😀
LikeLike
Aku blm perna ke papua ihik ihik ihik
mau diajak kesana #Ngarep
LikeLike
Pengeeen banget,,,bucket list dulu deh supaya bisa liat langsung next year
LikeLike
keren banget Papua emang impian!!
Adis takdos
travel comedy blogger
http://www.whateverbackpacker.com
LikeLike
bikin ngiler nih Indonesia bagian timur kak
LikeLike
belum pernah main ke indonenesia bagian timur, laah jayapura makin keren aja-_-
Salam kenal, blogwalking ke blog aku 😀
http://dolinafatitela.blogspot.co.id/
LikeLike
aku kalau bagian Timur selalu ngiler deh
LikeLike
duh jadi kangen pulang ke Jayapura… Sampai sekarang belum sempat meihat festival danau sentani 😦
LikeLike
ayo buruan pulang sebelum kangennya tambah akut 😀
LikeLike
Ulasan yang menarik. Saya sudah dua kali ke papua, tapi belum pernah dapat festival-festivalnya. Hmm pengen juga.
LikeLike
Wah, sayang sekali. Kalau gitu mesti datang untuk yg ketiga kalinya, diwaktu yg tepat ya?! 😀
Beneran deh, liat FDS itu bikin candu. Saya sampai nggak sabar nunggu FDS tahun depan 🙂
LikeLiked by 1 person
Hahha pengeeen pengeen, di wamena juga ada yang gak kalah keren. Yang lembah baliem itu…
LikeLike
Nah iyaa. Itu juga pengen banget liat. Agustus depan lho itu..
LikeLiked by 1 person