Tiap kali mengingat Lombok sering saya menerka kalau Tuhan pastilah sedang bersenang hati saat menciptakannya. Setiap inchi alam yang terbentang, nyaris sempurna dan jauh lebih indah dari objek serupa di banyak tempat lainnya; entah itu gunungnya, bentang pantai, barisan bukit, atau untaian air yang jatuh membentuk air terjun. Bisa dipastikan saya lantas menutup kilas ingatan ini dengan rasa iri yang teramat sangat pada para penghuninya; betapa beruntungnya mereka dihadiahi Tuhan kampung halaman seelok ini. Tuhan menciptakan Lombok dengan tersenyum.

***

Pagi baru saja beranjak pergi tatkala kami tiba di pintu masuk dan membayar retribusi. Tak begitu jauh di depan kami, rombongan opa-oma wisatawan mancanegara telah mendahului dengan luapan semangat yang sama sekali tak mencerminkan usia mereka. Sesekali terdengar celotehan-celotehan renyah demi menanggapi cerita sang pemandu. Salah seorang opa tertangkap mata, tengah menggunakan tongkat sebagai alat bantu. Betapa menjadi tua bukan berarti sebuah penghalang untuk bisa bertualang.

Rute yang kami lalui untuk sampai pada air terjun pertama memang sangat ramah bagi siapa pun pengunjungnya. Tak seperti rute air terjun kebanyakan yang aksesnya didominasi ratusan anak tangga berjenjang tinggi dengan kemiringan yang kadang sinting; di sini setiap jenjang anak tangga hanyalah setinggi jengkal, berselang-seling seimbang dengan jalur yang datar. Hanya dalam rentang belasan menit, kami pun telah bersua dengan air terjun pertama: Sendang Gila.

Entah kenapa air terjun ini dinamai Sendang Gila; nama yang sangat tidak sinkron dengan elok rupanya. Ibarat perempuan cantik bernama Tukinem; tak akan membuat kita mengira ‘pastilah cantik’ kala kali pertama mendengar namanya.

Tapi, bukankah seorang pujangga pernah berkata: “apalah arti sebuah nama”. Yang pasti Sendang Gila ini memang cantik adanya. Mengalirkan kejernihan yang berpangkal dari Rinjani. Mengecoh siapapun yang memandangnya hanya dari satu sisi. Kali pertama melihatnya, kau mungkin akan mengira kalau Sendang Gila ini berbentuk untaian dua garis air yang lurus sejajar. Tapi cobalah perhatikan ia dari sisi yang berbeda, maka kau akan paham: bahwa kecantikan itu seringkali mengecoh, kawan!

Sendang Gila

Beranjak dari Sendang Gila, kali ini kami mencoba menggoda nyali kecil-kecilan dengan mencari keberadaan air terjun yang kedua. Tak seramah rute Sendang Gila tentu saja, karena untuk bisa mencapainya, kami harus trekking ke dalam hutan. Tanpa pemandu. Bukan dalam rombongan. Hanya kami berdua: saya dan Mas Bayu.

Rute jalur setapak menjadi penggoda nyali yang pertama. Rapatnya tetumbuhan di kiri kanan membuat jarak pandang menjadi sangat dekat; ujung jalan pun seolah enggan terlihat. Bagai menyibak misteri hutan, kami hanya terus berjalan dan terus berjalan; sambil sesekali menghalau hijau di kiri kanan. Berharap tak ada ular yang tiba-tiba muncul menakut-nakuti.

Hingga tibalah kami pada tanah yang lebih lapang. Di hadapan kami, puluhan anak tangga curam telah siap menghadang. Ujung dari anak tangga adalah jembatan malfunction yang menaungi kanal, dengan aliran air berarus kencang. Manusia dengan bobot satu kuintal sekalipun bisa hanyut terseret, lantaran begitu kuatnya arus.

Kelak saat menempuh jalan pulang, barulah saya tahu kalau kanal ini bisa menjelma menjadi wahana yang menyenangkan untuk bermain seluncuran. Bahkan bila memiliki nyali berlebih, aksi meluncur bisa berlanjut hingga ke gorong-gorong, yang mulutnya berada di ujung jembatan dan bermuara di sekitar Sendang Gila.

Tiba di ujung jembatan saya pun menjadi paham kalau jembatan malfunction ini sebetulnya adalah bagian dari proyek pembangunan talang air yang dibangun di tahun 1978. Adapun kanal yang membentang, tak lain adalah irigasi yang mengairi sawah di sekitar lokasi. Prasasti yang teronggok di ujung jembatan menunjukkan bahwa pada saat jembatan dibuat, secara administratif, wilayah ini masih berada dalam naungan kabupaten Lombok Barat.

Selepas menyeberangi jembatan, kami pun kembali menyusuri hutan. Kanal mungil di tepi kiri, kini menjadi pemandu bisu yang dipercaya akan mengantarkan kami pada haribaan air terjun, bila terus ditelusuri sumber alirannya. Dan benar saja, selang beratus meter kemudian, kami menjumpai sungai jernih setinggi mata kaki, dengan bebatuan aneka ukuran sebagai perhiasannya.

Untuk mencapai air terjun, tak ada pilihan lain selain harus dengan menyusuri sungai. Meski hanya semata kaki, namun sungai ini berarus cukup deras. Bebatuan yang menghampar di dasarnya tentulah bukan pijakan yang ramah untuk bisa dilewati begitu saja tanpa waspada. Adakalanya keseimbangan saya pun diuji, hingga hampir jatuh tersungkur membentur batu besar. Sempat saya mengira kalau ujung dari sungai ini adalah klimaks yang akan mempertemukan kami dengan air terjun kedua. Namun ternyata, sungai ini hanya mengantarkan kami pada jalan setapak berikutnya.

Semakin menyuruk ke dalam hutan, saya rasakan udara semakin melembab. Rakyat kecil penghuni hutan pun kini semakin acap terlihat; menggeliat di tanah basah. Gemuruh air yang jatuh semakin terdengar meriuh; tiupan angin melayangkan perciknya hingga ke jarak yang cukup jauh. Setelah melewati celah sempit di antara dua batu besar, akhirnya pencarian kami beroleh klimaks. Kami bersua dengan air terjun yang kedua: Tiu Kelep.

Tiu Kelep

Meski bernama Tiu Kelep, namun yakinlah, air terjun ini tak akan membuat pengunjungnya sampai kelelep, karena kolam limpahannya ternyata hanya setinggi pinggang orang dewasa; atau hanya sekitar satu meter kedalamannya. Menurut mitos yang beredar, berendam di Tiu Kelep bisa membuat siapapun menjadi awet muda. Entah benar atau hanya rumor belaka. Tapi yang pasti, ingatan saya tentang air terjun ini memang akan selalu awet tersimpan, mengkristal dalam wujud kenangan.

Kangen Lombok stadium akut!

***

Info dan tips seputar Sendang Gila dan Tiu Kelep:

  • Air terjun Sendang Gila dan Tiu Kelep terletak di Desa Senaru, Kec. Bayan, Kab. Lombok Utara. Bisa dicapai melalui jalur Senggigi dengan view pantai, atau dari Pusuk dengan view dataran tinggi dan Monkey Forest.
  • Transportasi paling mudah adalah dengan menyewa kendaraan di Mataram, karena kabarnya, angkutan menuju Senaru sangatlah sulit dan hanya sampai di Kec. Bayan. Kendaraan bisa diparkir di Terminal Senaru yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk air terjun.
  • Retribusi pada saat itu (Januari 2013) hanya 5 ribu rupiah.
  • Kalau belum terbiasa trekking ke dalam hutan, sebaiknya membawa pemandu saat menuju Tiu Kelep.
  • Kalau berniat menginap, ‘Rinjani Homestay’ cukup recommended untuk budget travel, dengan tarif menginap 80 ribu rupiah per malam.
  • Agak sulit menemukan rumah makan di Senaru. Salah satu pilihan yang kami temukan adalah ‘Pondok Senaru’ yang terletak di samping pintu masuk air terjun. Namun harganya kurang bersahabat dengan kantong backpacker.
  • Jalan raya desa di malam hari sangatlah gelap gulita, karena memang belum ada lampu jalan yang memadai. Ini bisa jadi pertimbangan untuk memajukan jam makan malam.

20 comments on “Menggoda Nyali di Kaki Rinjani

  1. Manis blognya..mantap isinya..

    Like

  2. Eh aku pulang dari tiu kelep juga lewat gorong2 🙂 Seru basah2an

    Like

  3. Mantep sekali perjalannya.. menantang dan mengasyikan.. jadi ingin mengikuti jejaknya…
    Terimakasih Ya Sudah Berbagi…
    Salam Kenal…

    Like

  4. air terjun sendang gile emang mantapss banget 🙂
    makasi udah share pengalamannya wisata di lombok, lengkap banget infonya 🙂

    Like

  5. Masih dalam rencana nih tempat *ngitung kalender yang tiba2 hilang*

    Like

  6. asikkk…pengin ke Rinjani plis…

    Like

  7. belum kesini katanya klo mw keisni 3 hari ya

    Like

Ini ceritaku. Mana ceritamu? Ngobrol yuk..